Wednesday, 26 December 2012

Apa Itu Fakta?

Sebenernya fakta itu apa sih? Fakta itu materi bukan? Gak tau ya. Mengapa pula fakta disamakan dengan materi? Coba materi kita lupakan dulu, fokuskan pada fakta. Jadi, fakta itu apa? Masih gak tau juga. Jadi, bagaimana kita bisa tau apa itu fakta? Dari sebuah seminar yang aku ikuti, sesuatu dinamai dengan sesuatu itu setelah dihadirkan sesuatu yang lain pada sesuatu itu, yang mana sesuatu yang lain berarti bukan sesuatu tersebut. Sehingga dengan kehadiran sesuatu yang lain tadi sesuatu dapat terbedakan dengan sesuatu yang lain.

Menurut an-Nabhani, berpikir itu memerlukan fakta. Sedangkan fakta dalam berpikir digunakan untuk diserap oleh alat indera. Dari pandangan ini, fakta diartikan sebagai apa-apa yang dapat diserap oleh alat indera. Jadi kita telah mendapatkan sesuatu yang lain berupa berpikir dan penyerapan oleh alat indera sehingga dengannya fakta bisa dibedakan dengan sesuatu yang lain tadi.

Pertanyaannya, apakah dapat diterima bahwa fakta dibatasi hanya dengan apa-apa yang dapat diserap oleh alat indera?  Artinya, apa-apa selain yang tidak terserap oleh alat indera bukan fakta? Kita akan menggugat hal itu. Pertanyaannya, atas dasar apa keberadaan fakta bergantung pada alat indera kita? Apakah alat indera kita yang menentukan keberadaan fakta? Tidak, yang menentukan fakta itu berada bukanlah alat indera, melainkan sesuatu yang lain. Alat indera hanyalah berfungsi untuk menyerap fakta, bukan menentukan keberadaannya. Jadi, di manakah yang salah? Yang salah tidak lain ialah cara kita menarik kesimpulan dari pandangan an-Nabhani tersebut. Bukan pandangan beliau yang kita salahkan, melainkan cara kita menarik kesimpulan dari pandangan beliau. Bahwa, keharusan dapat diindera yang dikenakan atas fakta sehingga proses berpikir dapat berlangsung tidak berarti fakta itu ialah apa-apa yang dapat diserap. Sebab, proses berpikir yang membatasi hanya pada fakta yang terserap tidak berarti semua fakta dapat diserap. Kenyataan akan adanya fakta yang tidak dapat terserap menegaskan dasar argumentasi ini. Kita akan membuktikan hal itu dengan adanya satu orang yang bisa memikirkan sebuah fakta, namun orang lain tidak dapat memikirkannya. Padahal faktanya sama. Itu terjadi karena yang bisa memikirkan mampu menjangkau fakta sedangkan yang tidak bisa tidak bisa menjangkau fakta.

Uraian di atas menegaskan bahwa fakta tidak bergantung pada alat indera manusia. Keberadaan fakta tidak bergantung pada alat indera, akan tetapi terkait erat dengan ruang dan waktu. Fakta yang dinamis, berimplikasi terhadap perubahaan koordinat (ds,dt). Yaitu perubahan ruang dan waktu. Contohnya, pada jam12:00 terdapat fakta berupa air minum di dalam botol. Sedangkan pada pukul 13:00 seluruh (mendekati seluruh) air minum dipindahkan ke lima gelas sehingga botol tadi kosong. Kita tidak akan menyebut lagi bahwa terdapat fakta berupa air minum di dalam botol setelah kosong. Jadi, ada perubahan ruang yang dialami oleh air minum, dimana air minum tidak lagi menempati botol melainkan menempati lima gelas. Air juga mengalami perubahan waktu, yang keadaan air saat jam12:00 tidak sama dengan jam13:00. Demikian juga dengan contoh-contoh lainnya. Selama air minum tadi masih terikat dengan ruang dan waktu, selama itu pula disebut dengan fakta. Jadi, fakta bukanlah apa-apa yang dapat diserap. Fakta ialah apa-apa yang terikat dengan ruang dan waktu.


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 26 Desember 2012

Thursday, 20 December 2012

Kontemplasi Hari Senja

Menuju tua itu pasti, seiring bertambahnya usia. Sebab, panah waktu selalu maju. Bukankah itu yang dijelaskan oleh hukum kedua Termodinamika? Tua sebanding dengan perubahan waktu.

Tua itu sendiri bukanlah fakta. Tua itu abstratksi manusia atas tubuh manusia. Kulit yang keriput, rambut beruban, atau mata yang semakin sayu. Itulah tua. Tua menurut sebagian orang. Sebagian orang akan menganggap tua orang yang tubuhnya menjadi demikian adanya. Namun, ada juga beberapa orang yang tidak meganggap tua orang dengan tubuh demikian adanya. Tua itu abstraksi bukan fakta.

Dari abstraksi mari kita beralih ke yang pasti. Selain menuju ketuaan, ada juga fakta lain. Yaitu berkurangnya kadar khasiat setiap organ yang kita punyai dengan bertambahnya usia. Usia berarti waktu yang pernah dipunyai seseorang. Ia sebanding dengan waktu. Maka, berkurangnya kadar khasiat setiap organ akan berkurang seiring bertambahnya usia manusia. Faktanya di sekitar kita demikian adanya. Gap tinggi akan kita lihat dari keadaan dua orang manusia, kakek/nenek dengan cucunya yang sudah anak-anak.

Khasiat mata kakek untuk melihat sudah tidak lagi pancas seperti dulu waktu seumuran cucunya. Telinga yang tidak lagi sejelas dulu. Tangan dan kaki kakek yang semakin lemah. Tenaga kakek yang semakin loyo. Bahkan kadang ada yang menjadi pikun, ingatannya tidak secemerlang dulu. Pernah aku silaturahim ke seorang kakek yang masih adiknya kakek. Ketika bertemu dengan saudara sepupuku yang masih balita, sang kakek langsung memanggil nama ibuku. Nama ibuku digunakan untuk memanggil saudara sepupuku. Mungkin ia mengira, bahwa yang dipanggilnya itu ibuku. ya, dulu waktu sang kakek masih muda, ibuku masih balita dalam gendongan orang tuanya. Rupanya ingatan itulah yang kakek hadirkan pada saat itu. Suatu rentang waktu yang lama. Begitulah sang kakek dengan ingatannya yang tidak lagi cemerlang.

Kita tidak merasakan apa yang kakek rasakan, sekarang. Namun, siapa tahu kita berumur panjang dan kita akan mengalami sebagaimana yang kakek alami. Setiap organ yang kita miliki, berkurang kadar khasiatnya. Kita semakin lemah dan bergantung pada orang lain. Entah kapan itu akan terjadi.

Hukum kedua Termodinamika, bahwa waktu tidak akan pernah berjalan mundur. Masa depan menuju masa sekarang hingga kita dan kehidupan kita kembali kepada masa lalu. Itu tak kan pernah terjadi menurut hukum alam tersebut. Sementara perkembangan teknologi terjadi sebegitu cepatnya. Kita melihat piranti teknologi di sekitar kita. Pesatnya perkembangan teknologi dapat kita indera. Handphone pertama yang kita pakai dulu kita anggap sudah pintar pada waktu itu, tidak akan disebut dengan smartphone. Sebab, sekarang, sudah ada smartphone yang jauh lebih pintar dibandingkan dengan handphone pertama kita. Adanya perbedaan yang mencolok ditunjukkan dengan penamaan tersebut. Perbedaan mencolok menunjukkan pesatnya perkembangan teknologi dari handphone menjadi smartphone. Layaknya mengikuti hukum kedua Termodinamika, kita tidak akan pernah kembali kepada era handphone setelah kita berhasil menancapkan era smartphone. Kita tak akan pernah kembali pada era sebelumnya, dengan pencapaian teknologi yang kita dapatkan.

Menariknya, semakin tinggi pencapaian teknologi, semakin tinggi pula ketergantungan manusia akan teknologi tersebut. Anda akan membayangkan bagaimana susahnya tim dokter menjalankan operasi tanpa adanya listrik. Adanya listrik memang membantu tim dokter menjalankan operasi. Akan tetapi, pembawaan tersebut juga diimbangi dengan ketergantungan pada teknologi yang dibawanya. Kita akan merasakan panasnya temperatur di dalam mobil saat ac mobil tidak dijalankan. Padahal, panas yang dulu kita rasakan saat mobil-mobil belum dipasangi ac tidak kita hiraukan. Teknologi membawa dua muatan, muatan kemajuan untuk hidup lebih mudah dan muatan ketergantungan yang membuat kita susah melepaskan penggunaan teknologi dalam kehidupan kita. Semakin maju teknologi, semakin tergantung kita pada teknologi tersebut. Inilah kenapa hukum kedua Termodinamika digunakan untuk menjelaskan keadaan tersebut.

Jadi, saat menjadi kakek atau nenek nanti kita akan dihadapkan pada keterbatasan berupa kurangnya khasiat organ-organ yang kita punyai dan ketergantungan kita pada teknologi. Apa yang akan terjadi? Kita akan semakin asing dengan kehidupan di sekitar kita. Sekarang kita bisa tengok, betapa terasingnya sang kakek, saat cucunya sedang asyik memankan playstation. Atau sang nenek yang akan menganggap anehnya sang cucu saat ketawa-ketiwi sendiri bersama gadget yang digenggamnya. Padahal ketawa sang cucu bukan tanpa alasan, ia sedang berkomunikasi dengan temannya lewat teknologi bernama chatt. Sementara, keterbatasannya tadi yang semakin mengkristal membuat dirinya susah untuk menyamai kemampuan yang dicapai sang cucu. Ia benar-benar teralenisasi dengan kehidupan sekitarnya.

Untuk teknologi hiburan, tidak akan terlalu berpengaruh pada kehidupan sang kakek. Namun bagaimana dengan teknologi-teknologi baru yang digunakan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan hidupnya? Sumur gali yang sudah semakin ditinggalkan. Sumur gali diganti dengan sumur bor atau saluran PDAM, jendela sebagai fentilasi yang sudah digantikan dengan AC, bahan bakar kayu untuk memasak yang sudah digantikan dengan bahan bakar gas, dan beberapa penggunaan teknologi lainnya. Semua teknologi membawa ketergantungan pemakai padanya. Itu berarti, teknologi semakin menjauhkan kita pada alam sekitar kita. Mengambil air dengan menimba di sumur, mengambil udara segar dengan membuka jendela, atau menggunakan kayu untuk keperluan memasak adalah bentuk kedekatan kita pada alam sekitar. Itu tidak akan pernah kita lakukan selagi kita menggunakan teknologi penggantinya. Ketergantungan kita pada teknologi juga menjauhkan kita pada alam di sekitar kita. Tidak menjadi masalah jika kakek atau nenek kita mampu menggunakan teknologi-teknologi pengganti tadi dan sarana-prasarananya tersedia di masyarakat. Sehingga kakek atau nenek kita mampu mengadakannya di rumah. Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya?

Kaki nenek yang sudah tidak lagi mampu melangkah lebih jauh akan kesusahan membeli gas isi 3 kg di warung yang letaknya tidak dekat. Tenaga nenek yang sudah tidak sekuat dulu akan kerepotan menjinjing tabung gas isi 3kg. Penglihatan nenek yang sudah semakin buram, akan menambah rentetan kesusahannya saat melepas dan menyambungkan selang gas dengan tabungnya. Bagaimana dengan masa kakek atau nenek kita? akankah sama? kita tidak tahu, yang jelas kita akan menjumpai keterbatasan-keterbatasan yang kakek atau nenek kita jumpai sekarang. Kita akan melihat hasrat teknokrat yang selalu terpacu mengembangkan teknologi untuk memudahkan manusia. yang juga berarti menambah kadar ketergantungan manusia pada teknologi. Jadi, tidak semestinya kita memandang remeh orang-orang tua di sekitar kita yang tidak paham akan teknologi yang kita gunakan. Mungkin keterbatasan mereka yang berbicara dan lebih memilih teraleniasi. Kita tetap menghargai dan berempati pada mereka. Kita temani mereka dalam dunianya supaya aleniasi yang dirasakannya tidak terlalu dalam. Boleh jadi, kitalah yang akan merasakan aleniasinya itu kelak. Bahkan mungkin akan lebih dalam kita rasakan. Entahlah... -__-


Tommy Aji Nugroho
di atas meja teras rumah, Pemalang 21 Desember 2012 pukul 04:20

Monday, 3 December 2012

Jawaban Seorang Muslim Atas Pertanyaan Atheisme

Bismillah..

Pendahuluan

Kemarin pagi aku mendapat message dari seorang teman. Dia menyampaikan kabar bahwa ada pertanyaan yang datang kepadanya. Bunyinya seperti ini :

      "Bagaimana kita tahu pencipta (mungkin maksudnya penciptaan) itu bukan mekanisme saja, tapi
      juga merupakan sesuatu yang punya kehendak? Bukan sekadar seperti sesuatu yang jatuh ke
      bawah karena mekanisme gravitasi".

Dia melanjutkan dengan menjawab pertanyaan tersebut :

      "Alam semesta harusnya ada dalam ketiadakan terus, atau dalam Fisikanya vakum kuantum. Nah
      perubahan menjadi dari tiada jadi ada menunjukkan ada kehendak".

Selanjutnya, datang kepadanya tanggapan atas jawabannya tadi:
     "Saya terjebak pada cara berpikir Newtonian bahwa perubahan itu butuh gaya dari luar. Kalau
      dalam kerangka Kuantum apapun bisa terjadi".
     "Kira-kira gitu tom"

dia melanjutkan.

Artikel sederhana ini mengandung ajakan kepada pembaca untuk mencoba menjawab pertanyaan ataupun tanggapan-tanggapan di atas. Penulis artikel bukanlah Fisikawan, melainkan seorang Muslim biasa yang haus akan ilmu. Melalui artikel inilah upaya untuk menelusuri ilmu dilakukan. Penulis tidak mempunyai pendapat orisinil. Penulis hanya mencoba merangkai pendapat-pendapat  yang sudah ada, baik dari seorang Fisikawan maupun pemikir Muslim. Adapun message tadi tidaklah datang dari seorang Atheis. Namun biasanya, Atheis menyimpan segudang pertanyaan, semacam pertanyaan di atas. Pemilihan judul adalah hak perogatif penulis. Semoga antara judul dan isinya nyambung. Oke, pesan sponsor sampai di sini, mari kita coba jawab pertanyaan dan tanggapan tersebut.

Dalam buku Quantum Field Theory, Ryder memberikan pendahuluan sebagai berikut :

     "...The salient point is that photons are the quanta of the field which describes the interaction
     between the particle of matter. The electron happen to be there and because they interact (if they
     did not we would not know they were there!) the electromagnetic field and, therefore, photons
     become compulsary!. But this is not all. Mouns and photons and all short of other
     charged particles also happen to exist, and to interact in the same way, through the
     electromagnetic field. The reason for
the existance of all these particles is so far unknown, but we
     way summarise by saying that we have a spectrum of particle state ((e, μ, p, Ʃ, Ω, etc) and a field
     through which these particle interact- an interaction, in short..." [1]

Menurut Ryden, foton adalah kuanta pada suatu medan yang mendeskipsikan interaksi partikel. Partikel (elektron) berada di sana dan berinteraksi. Jika tidak, kita tidak akan pernah tahu mereka ada di sana. Alasan keberadaan mereka di sana tidak diketahui.
   
     "...The reason for the existance of all these particles is so far unknown,..."

Ada satu kesimpulan yang bisa ditarik dari sini. Fisikawan cenderung tidak memperhatikan keberadaan partikel. Maksudnya, berbeda dengan seorang Atheis yang cenderung memperhatikan keberadaan partikel beserta interaksinya sebagai pembuktian atas keyakinan akan tidak adanya Tuhan. Dengan kata lain, Fisika itu netral.

Lantas, bagaimana dengan tanggapan:

      "..dalam kerangka Kuantum apapun bisa terjadi"?

yang merupakan bentuk penegasan dari pertanyaan awal tentang bagaimana kehendak itu hadir dalam penciptaan. Sebelum membongkar pertanyaan dan tanggapan di atas, ada baiknya, kita telisik lebih dalam terlebih dahulu apa itu Kuantum.


Cerita Dunia Kuantum
Maxwellian mampu menjelaskan fenomena gelombang elektromagnetik. Sedangkan, hukum-hukum Newton juga mampu bertahan menghandel fenomena partikel selama berabad-abad. Dalam Fisika klasik, hukum-hukum yang mengatur kekhasan gelombang dan partikel sama sekali berbeda. Gerak peluru memenuhi hukum-hukum yang berlaku bagi partikel, seperti mekanika Newtonian. Sedangkan gelombang mengalami interferensi dan difraksi, yang tidak dapat dijelaskan dengan mekanika Newton yang berlaku bagi partikel.[2]

Selama bertahun-tahun, pandangan Fisika bahwa partikel dan gelombang adalah dua buah fenomena yang dijelaskan dengan hukumnya masing-masing, bertahan. Seorang mahasiswa doktoral bernama Louise de Broglie mengubah pandangan itu semua. Ia mengajukan disertasinya yang bersama dengan Fisikawan lain mampu merevolusi Fisika. Dalam cakupan mikroskopik, kerap kali partikel memenuhi hukum-hukum yang berlaku pada gelombang. Efek Compton hanya bisa dipahami jika cahaya dianggap sebagai partikel. Suatu pandangan yang tidak ditemukan pada Fisika Klasik. Dalam disetasinya, de Broglie dihadapkan pada dua pilihan. Apakah dualisme partikel-gelombang ini merupakan sifat yang hanya dimiliki oleh cahaya atau semua benda? de Brogli memilih yang kedua. Ia lulus dengan disertasinya. Pada tahun 1925 di Bell Telephone Laboratories Amerika CJ. Davisson dan CH. Kunsman, Davisson, dan L.H. Germer melakukan eksperimen berkas elektron yang dikenakan pada kristal nikel. Hasilnya, hampuran elektron membentuk pola difraksi. Padahal, dalam pandangan Maxwellian-Newtonian kita tahu bahwa difraksi hanya berlaku untuk gelombang. Ini berarti percobaan ini mengukuhkan hipotesis de Broglie bahwa partikel juga bersifat gelombang. Sejak itulah, kelahiran era baru di mulai di Fisika, era Kuantum.[3]

Kuantum berasal dari kata kuanta. Ini dipernalkan oleh Max Plank. Paket (kuanta) energi bagi gelombang elektromagnetik di dalam rongga benda hitam. Gelombang elegtromagnetik direpresentasikan sebagai osilator yang hanya dapat menyerap dana melepas energi sebesar hv dan kelipatan bulatnya. Einstein mengambil pendapat ini dan mempertajamnya dengan menyatakan bahwa cahaya terpaket adalah partikel.

Paket gelombang ialah banyaknya gelombang individual dengan panjang gelombangnya masing-masing dan terkonsentrasi pada area tertentu. Jika dinyatakan dalam bilangan gelombang k, dengan k=2π/λ yang berarti bilangan gelombang berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Sehingga, setiap paket gelombang merupakan banyaknya gelombag dengan bilangan gelombangnya. Selisih bilangan terbesar dengan bilangan terkecil adalah Δk. Perkalian  Δk dengan ukuran paket gelombang yang dihasilkan, Δx mempunyai hubungan yang menarik. Perkalian keduanya mendekati distribusi Gaussian jika nilainya minimum. Oleh karena itu, secara matematis dituliskan sebagai
 ΔkΔx >= 1/2. Perkalian bilangan gelombang dengan konstanta Plank ħ (ħ=h/2π), p=ħk, maka diperoleh hubungan fundamental yang selanjutnya disebut dengan ketidakpastian Heisenberg.                                                                      ΔpΔx >=ħ /2


Δp ditafsirkan sebagai keidakpastian momentum dan Δx ialah ketidakpastian posisi. Ketidakpastian posisi Δx sama dengan nol berarti posisi partikel diketahui pasti berada di satu titik tertentu. Adapun Δp sama dengan nol berarti momentum partikel mempunyai satu nilai tertentu dan itu pasti. Hubungan ketidakpastian Heinsenberg jelas melarang nilai nol bagi ketidakpastian posisi dan momentum. Meskipun satu nilai nol, misalkan pada ketidakpastian posisi atau momentum. Di sinilah letak kemenarikan tadi, bahwa implikasi dari itu semua, partikel tidak akan pernah diam. Partikel selalu bergerak.

Sekarang, kita perluas ketidakpastian Heisenberg pada hubungan energi dengan waktu. Hubungan momentum Compton dan energi Planck memberikan p = h/λ (x v/v) = E/c. Maka prinsip tersebut menjadi:
 
                                                                     ΔEΔt >=ħ /2

Artinya, partikel berfluktuasi sebesar ΔE selama Δt. Salah satu penerapan prinsip ini ada pada sebuah partikel yang terjebak di dalam lembah. Bayangkan ada dua bukit yang terpisah oleh satu lembah. Sebuah partikel berada di sebuah titik A, yaitu sebuah titik yang terletak di antara dasar lembah dan puncak bukit. Sedangkan titik B, sama terlatak di antara dasar lembah dan puncak bukit, namun dengan bukit yang berbeda. Maka titik A dan B berseberangan dan mereka pada satu garis datar. Secara klasik, partikel dengan energi E dari dasar lembah maka partikel hanya dapat bolak-balik dari A dan B tanpa pernah keluar lembah. Untuk bisa melewati puncak, partikel membutuhkan energi sebesar ΔE. Karena beda ketinggian dari A ke puncak bukit, berimplikasi pada adanya energi potensial sebesar ΔE. Namun, dalam Kuantum dengan prinsip ketidakpastian Heisenberg, partikel dapat meminjam energi sebesar ΔE sehingga partikel mempunyai energi sebesar potensial dari ketinggian A ke puncak bukit. Sehingga, partikel bisa melewati puncak bukit dan menggelinding keluar dari lembah.[4]


Keimanan Seorang Muslim

Jika kita amati, keseluruhan keadaan manusia, akan kita jumpai adanya dua hal yang berbeda. Kita bisa memilih untuk sarapan dengan meninggalkan tempat tinggal atau tidak sarapan dan tetap berada di tempat tinggal. Ketika kita akhirnya sarapan dan meninggalkan tempat kerja, berarti kita telah memilih satu dari dua pilihan tadi dan pilihan tadi terjadi. Artinya kita berkuasa atas pilihan kita. Ini dinamakan dengan keadaan yang manusia menguasainya Adapun keadaan lain misalnya, kita terlahir sebagai orang Jawa, atau terlahir dari seorang ibu kita, atau kita memiliki mata sipit dan hidung pesek. Sehingga yang demikian kita tidak berkuasa untuk memilihnya. Keadaan ini disebut dengan keadaan yang manusia tidak menguasainya. Jadi ada dua keadaan, yaitu keadaan yang manusia menguasainya dan yang manusia tidak menguasainya.

Segala kejadian yang manusia tidak menguasainya inilah yang dinamakan dengan qadha (keputusan Allah). Oleh karena itu, seorang hamba tidak dimintai pertangjawaban atas kejadian ini, berapapun besar manfaat atau kerugiannya, disukai atau dibenci, meski kejadian tersebut mengandung manfaat atau kerugian dalam tafsiran manusia. Sebab, manusia tidak ikut andil dalam kejadian tersebut. Bahkan ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha itu hanya berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. [5]

Sedangkan uraian qadar ialah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menciptakan khasiat pada benda-benda baik itu berada pada area yang manusia menguasainya maupun pada area yang manusia tidak menguasainya. Adanya khasiat pisau untuk membelah, api untuk membakar, atau kayu yang mampu terbakar adalah pemberian dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Khasiat-khasiat tersebut sesuai dengan nizamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Apabila dalam waktu tertentu khasiat ini melanggar nizamul wujud, maka itu karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menarik khasiat darinya. Wajib pula bagi seorang Muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.[6]




 

Pengumpulan Preposisi dan Analisis

Sebagaimana ungkapan Ryder tadi, kalangan Fisikawan cenderung netral dalam memandang Fisika Kuantum. Namun, kalangan Theis dan Atheislah yang memberikan tendensi pada Fisika Kuantum.

Ungkapan, pertanyaan Atheisme di awal tadi ditujukan untuk menguji kalangan Theisme mempertahankan keimanannya atas fenomena Kuantum. Untuk itu, sebelum menjawab pertanyaaan tersebut, kita perlu memisahkan kedua tendensi terlebih dahulu, Yaitu tendensi Theisme dan Atheisme. Sehingga, kita perlu memperlajari Fisika untuk mengungkap fenomena Kuantum tadi.

Telah diuraikan sebelumnya, bahwa partikel selalu bergerak. Inilah pandangan Fisika Modern terhadap Kuantum yang tidak ditemukan dalam Fisika Klasik. Pandangan seperti ini belum tercampur dengan tendensi baik itu dari Theisme maupun dari Atheisme. Sebab, pandangan ini dibangun oleh Fisikawan dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu yang dipakai dalam dunia Fisika. Fisika menggunakan metode ilmiah dengan jalan eksperimental sehingga suatu pandangan dapat dirumuskan. Hal ini menegasikan ikut andilnya tendensi Theisme ataupun Atheisme dalam perumusan pandangan tersebut. Sehingga, Fisika itu murni dan tidak bertendensi. Demikian juga untuk pandangan atas fenomena partikel yang terjebak di antara dasar lembah dan sebuah bukit tadi. Dengan menggunakan ketidakpastian Heisenberg, pandangan tersebut terumuskan.

Inilah fenomena dalam Fisika yang terkandung dalam pertanyaan Atheisme di atas. Bahwa, dengan Fisika Modern, fenomena tersebut seakan terjadi dengan begitu saja. Terlepas apakah nantinya didapatkan sebuah kesimpulan bahwa itu terjadi dengan sendirinya, yaitu terjadi oleh partikel tersebut dengan sendirinya atau terjadi dengan pengaruh lain selain diri partikel tersebut. Atau dengan kata lain adanya pengaruh kehendak atas fenomena tersebut adalah manifestasi dari diberikannya tendensi atas fenomena tersebut.

Adapun di antara kalangan Fisikawan sendiri terbagi menjadi dua kutub yang bertentangan secara diametral. Kutub pertama adalah Theisme dan yang kedua adalah Atheisme. Ketika seseorang Fisikawan sudah merapat ke salah satu kutub tersebut, maka pandangan Fisika yang netral tadi berubah menjadi bertendensi sesuai dengan tendensinya masing-masing.


Kesimpulan

Setelah menelisik lebih dalam makna pertanyaan dengan menggunakan Fisika, sebagai seorang Muslim sudah saatnya kita berbicara dengan keimanan kita Bahwa fenomena Kuantum yang disampaikan kalangan Atheisme tadi adalah bagian dari qadha dan qadarnya. Bukti adanya kehendak atas fenomena tidak bisa dijabarkan dengan Fisika. Sebab, Fisika netral yang dengan itu bisa diberikan tendensi atasnya. Dengan keimanan terhadap qadha dan qadar kita tahu bahwa fenomena tersebut adalah bagian dari keputusan atau kehendak Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Lantas bagaimana kita tahu bahwa fenomena tersebut adalah kehendakNya? Akal kita tidak akan mampu menjangkau jawaban ini kecuali setelah kita meneriman informasi dariNya. Sehingga, untuk menjawab pertanyaan tersebut ialah dengan menggali informasi yang Allah berikan kepada kita.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya: itulah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. (TQS. [6]:102)

Juga

قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi 1148. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (TQS. [29]:20)

Allah juga berfirman dalam Surat Saba' ayat 3

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَأْتِينَا السَّاعَةُ قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتَأْتِيَنَّكُمْ عَالِمِ الْغَيْبِ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ
مِن ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Artinya : Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari kiamat itu tidak akan datang kepada kami".Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku Yang mengetahui yang gaib, kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi bagi-Nya seberat zarrah baik yang di langit dan maupun yang di bumi, yang lebih kecil dari itu atau yang lebih besar, semuanya tertulis dalam Kitab yang jelas (Lauh mahfuz)" (TQS [34]:3)

Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan penjelasan dari Allahlah kita tahu bagaimana suatu penciptaan mengandung kehendak. Yaitu kehendak Allah terkandung dalam penciptaan mahkhluk.


Penutup

Akhirnya, pertanyaan Atheisme tersebut terjawab. Artikel ini akan ditutup dengan kata-kata inspiratif dari seorang Prof. Freddy Permana Zen. Dosen kami yang juga pernah menyanggah pernyataan Stephen Hawking dalam pertemuan Fisikawan dunia di Aula Universitas Kyoto. Mendengar uraian Hawking semua orang terdiam, tapi tidak dengan Freddy. Ia justru mempertanyakan pendapat Hawking dan meminta buktinya, karena menurutnya alam semesta ini ada yang menciptakan. Ternyata Hawking hanya diam, tidak dapat menjawab. “Audiens yang lain sih diam aja, mereka kan nggak peduli dengan agama,” ujar pria kelahiran Pangkalpinang, 1 Maret 1961 ini.[7]

Sumber : 

[1] Ryder, Lewis H 1988. Quantum Field Theory. New York: Cambridge University Press;
[2] Krane, Kenneth 1992. Fisika Modern. Jakarta: Universitas Indonesia Press;
[3] Purwanto, Agus 2008. Ayat-ayat Semesta. Bandung: Mizan;
[4] ibid;
[5] an Nabhani, Taqiyuddin. 2003. Peraturan Hidup dalam Islam. Bogor. Pustaka Thariqul Izzah;
[6] ibid.
[7] http://majalah.hidayatullah.com/?p=1145 diakses tanggal 4 Desember 2012 pukul 10:22 WIB


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 4 Desember 2012 pukul 10:23 WIB