Kita mungkin pernah marah. Tidak saatnya kita menyesalinya.
Kita perlu merefleksikan diri. Bahwa pernah marah, kita perlu merefleksikannya. Kapan kita marah? kepada siapa? Atas dasar apa kita marah?. Kitalah yang bisa menjawabnya sendiri. Karena kitalah yang marah. Andaikan saat marah adalah sebuah akhir, berarti marah ada sebabnya. Sebab adanya akhir mengharuskan adanya awal. Itu berarti saat marah dan sebelumnya akan terhubung. Banyak ditemui orang sedang marah dengan adanya sebab sebelumnya. Keadaan sebelumnya itulah yang menentukan jawaban apa atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Marahnya seseorang adalah salah satu kelanjutan atas terbentuknya masalah di dalam benaknya. Namun bukan berarti setiap timbul masalah di dalam benak, seseorang akan marah.
Seseorang yang marah bukan berarti tidak menggunakan akalnya. Lebih tepatnya, akalnya sudah bekerja saat dia belum marah. Karena terbentuknya masalah di dalam benak seseorang, dilakukan dengan proses berpikir. Ia menggunakan akalnya dalam berpikir. Jadi, akal berada pada dirinya saat dia sebelum marah. Bagaimana keberadaan akal saat marah? Seseorang yang sedang marah susah menggunakan akal sehatnya. Itu berarti seseorang yang sedang marah cenderung terkuasai. Kita akan melihat bagaimana kata-kata yang keluar dari seseorang yang sedang marah, kasar. Kita pun akan melihat bagaimana tindakan-tindakan yang dilakukannya, tak terkendali. Lantas, siapa yang menguasainya? Sebenarnya tidak ada yang menguasainya. Namun, akal yang dimilikinya tidak berkuasa atas dirinya. Ini berarti tidak ada kehadiran akal saat dirinya sedang marah. Setelah marah, biasanya seseorang tersebut menyesal. Terkadang, kita jumpai, ada kekacauan-kekacauan setelah kemarahan dilampiaskan. Benda-benda yang rusak, kata-kata kasar yang keluar, atau perkataan-perkataan lain yang keluar bukan atas kendalinya.
Apakah marah itu buruk? marah tidak bisa dicap sebagai keburukan atau kebaikan. Sebab, marah itu sendiri adalah manifestasi timbulnya masalah di dalam benak. Yang tepat untuk dinilai ialah bagaimana masalah di dalam benaknya itu terbentuk bukan marahnya itu sendiri. Persepsi apa yang memantik timbulnya masalah di dalam benak? fakta apa yang melandasi persepsi tadi memantik. Muslim yang marah dengan dibakarnya alQur'an bukan berarti buruk. Bahkan itu bagian dari kebaikan karena ia mengikuti tuntunan Syara'. Itulah kemarahan yang baik. Karena marahnya sesuai dengan Syara'. Baiknya tindakan tersebut bukan karena ia marah, melainkan persepsi dan fakta yang membangun masalah sehingga memicunya marah. Hal yang sebaliknya juga bisa diterapkan, yaitu bisa diterapkan oleh status buruk. Bahwa marah bukan berarti buruk. Sekali lagi, penilaian baik dan buruk bukan pada marah atau tidaknya seseorang. Melainkan, kepada apa kemarahan tertuju dan atas dasar apa ia marah.
Jika ada kemarahan yang baik, Lantas mengapa ada penyesalan setelah datang kemarahan? Harus diingat kembali bahwa status baik dan buruk tidak ditimpakan pada saat kemarahan datang. Akan tetapi, bagaimana sebab kemarahan itu datang. Adapun saat marah sebagaimana nasihat beliau, memang kemarahan itulah yang akan menguasai seseorang. Sebab, pada saat itu keberadaan akalnya tidak difungsikan. Akalnya tertutup dengan kemarahannya. Yang perlu diwaspadai ialah, tindakan apa saja yang dilakukan saat orang marah. Penyesalan yang mendalam, akan terjadi manakala tindakannya saat marah tidak dikendalikannya. Lho, bukannya memang kehadiran akal tidak ada saat sedang marah, bagaimana tindakan itu dikendalikan jika akal tidak hadir? Jangan, anggap kemarahan itu tidak bisa dipartisi. Pada rentang waktu tertentu kita memang marah, namun pada rentang waktu yang lain kita juga meredam amarah kita. Ada juga rentang waktu sebelum marah dimana kita tidak sedang marah. Di rentang waktu itulah akal kita telah dan akan hadir kembali. Sehingga, ada baiknya kemarahan itu dikendalikan saat adanya akal pada rentang-rentang waktu kita tidak sedang marah. Tindakan kita saat marah dapat dikendalikan oleh akal kita yang berada sebelum kita marah. Hal itu sangat mungkin terjadi, sebab tindakan kita juga bisa dikendalikan akal. Artinya akal bekerja sebelum tindakan dilakukan. Meskipun tindakan tersebut saat kita marah, saat akal kita tidak berada pada diri kita.
Kita perlu merefleksikan diri. Bahwa pernah marah, kita perlu merefleksikannya. Kapan kita marah? kepada siapa? Atas dasar apa kita marah?. Kitalah yang bisa menjawabnya sendiri. Karena kitalah yang marah. Andaikan saat marah adalah sebuah akhir, berarti marah ada sebabnya. Sebab adanya akhir mengharuskan adanya awal. Itu berarti saat marah dan sebelumnya akan terhubung. Banyak ditemui orang sedang marah dengan adanya sebab sebelumnya. Keadaan sebelumnya itulah yang menentukan jawaban apa atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Marahnya seseorang adalah salah satu kelanjutan atas terbentuknya masalah di dalam benaknya. Namun bukan berarti setiap timbul masalah di dalam benak, seseorang akan marah.
Seseorang yang marah bukan berarti tidak menggunakan akalnya. Lebih tepatnya, akalnya sudah bekerja saat dia belum marah. Karena terbentuknya masalah di dalam benak seseorang, dilakukan dengan proses berpikir. Ia menggunakan akalnya dalam berpikir. Jadi, akal berada pada dirinya saat dia sebelum marah. Bagaimana keberadaan akal saat marah? Seseorang yang sedang marah susah menggunakan akal sehatnya. Itu berarti seseorang yang sedang marah cenderung terkuasai. Kita akan melihat bagaimana kata-kata yang keluar dari seseorang yang sedang marah, kasar. Kita pun akan melihat bagaimana tindakan-tindakan yang dilakukannya, tak terkendali. Lantas, siapa yang menguasainya? Sebenarnya tidak ada yang menguasainya. Namun, akal yang dimilikinya tidak berkuasa atas dirinya. Ini berarti tidak ada kehadiran akal saat dirinya sedang marah. Setelah marah, biasanya seseorang tersebut menyesal. Terkadang, kita jumpai, ada kekacauan-kekacauan setelah kemarahan dilampiaskan. Benda-benda yang rusak, kata-kata kasar yang keluar, atau perkataan-perkataan lain yang keluar bukan atas kendalinya.
Apakah marah itu buruk? marah tidak bisa dicap sebagai keburukan atau kebaikan. Sebab, marah itu sendiri adalah manifestasi timbulnya masalah di dalam benak. Yang tepat untuk dinilai ialah bagaimana masalah di dalam benaknya itu terbentuk bukan marahnya itu sendiri. Persepsi apa yang memantik timbulnya masalah di dalam benak? fakta apa yang melandasi persepsi tadi memantik. Muslim yang marah dengan dibakarnya alQur'an bukan berarti buruk. Bahkan itu bagian dari kebaikan karena ia mengikuti tuntunan Syara'. Itulah kemarahan yang baik. Karena marahnya sesuai dengan Syara'. Baiknya tindakan tersebut bukan karena ia marah, melainkan persepsi dan fakta yang membangun masalah sehingga memicunya marah. Hal yang sebaliknya juga bisa diterapkan, yaitu bisa diterapkan oleh status buruk. Bahwa marah bukan berarti buruk. Sekali lagi, penilaian baik dan buruk bukan pada marah atau tidaknya seseorang. Melainkan, kepada apa kemarahan tertuju dan atas dasar apa ia marah.
Jika ada kemarahan yang baik, Lantas mengapa ada penyesalan setelah datang kemarahan? Harus diingat kembali bahwa status baik dan buruk tidak ditimpakan pada saat kemarahan datang. Akan tetapi, bagaimana sebab kemarahan itu datang. Adapun saat marah sebagaimana nasihat beliau, memang kemarahan itulah yang akan menguasai seseorang. Sebab, pada saat itu keberadaan akalnya tidak difungsikan. Akalnya tertutup dengan kemarahannya. Yang perlu diwaspadai ialah, tindakan apa saja yang dilakukan saat orang marah. Penyesalan yang mendalam, akan terjadi manakala tindakannya saat marah tidak dikendalikannya. Lho, bukannya memang kehadiran akal tidak ada saat sedang marah, bagaimana tindakan itu dikendalikan jika akal tidak hadir? Jangan, anggap kemarahan itu tidak bisa dipartisi. Pada rentang waktu tertentu kita memang marah, namun pada rentang waktu yang lain kita juga meredam amarah kita. Ada juga rentang waktu sebelum marah dimana kita tidak sedang marah. Di rentang waktu itulah akal kita telah dan akan hadir kembali. Sehingga, ada baiknya kemarahan itu dikendalikan saat adanya akal pada rentang-rentang waktu kita tidak sedang marah. Tindakan kita saat marah dapat dikendalikan oleh akal kita yang berada sebelum kita marah. Hal itu sangat mungkin terjadi, sebab tindakan kita juga bisa dikendalikan akal. Artinya akal bekerja sebelum tindakan dilakukan. Meskipun tindakan tersebut saat kita marah, saat akal kita tidak berada pada diri kita.
Tommy Aji Nugroho
Bandung, 1 Desember 2012 pukul 17:01 WIB diedit tanggal 2 Desember 2012 pukul 14:07 WIB
Bandung, 1 Desember 2012 pukul 17:01 WIB diedit tanggal 2 Desember 2012 pukul 14:07 WIB
penyakit ini yang masih ada di dalam diri saya sampai sekarang.susah sekali untuk mengendalikan amarah apalagi sekarang saya hidup di perkotaan yang padat penduduk, macet yang menyebabkan tingkat stress yang tinggi.pekerjaan yang memberikan tekanan.menjadikan saya orang yang cepat sekali marah.
ReplyDeletekamu sekarang tinggal di mana fer? terakhir aku tahu, kamu tinggal di Semarang. Semarang sekarang mulai macet fer?
ReplyDeletedimana mana macet, banjir, rob, kriminalitas meningkat, dll
Delete