Pecahnya Gelas Kaca
Sebuah
gelas kaca diletakkan di atas meja. Meja terletak di atas lantai.
Panjang kaki meja tidak lebih dari 75 cm. Secara perlahan, gelas tadi
disentuh dan digeser ke tepi hingga akhirnya alas gelas kaca tidak
bersentuhan lagi dengan meja. Gelas terjatuh menyentuh lantai dan pecah
“pyarrr..”. Sekarang, gelas tak berbentuk seperti semula. Gelas berubah
menjadi pecahan gelas.
Ada
satu pertanyaan yang layak diajukan dalam peristiwa ini. “Dapatkah
peristiwa tersebut berbalik sehingga pecahan gelas tadi berubah menjadi
gelas kaca seperti semula?”. Maksud pertanyaan ini adalah pecahan gelas
kaca tersebut bersatu sesuai posisi awalnya sesaat sebelum menyentuh
lantai. Kemudian naik ke atas menyentuh meja dan bergeser ke posisi
semula sebelum tersentuh sama sekali.
Kita
semua tahu jawabannya, bahwa peristiwa tersebut tidak dapat berbalik.
Ya, pecahan gelas tadi tidak bisa berbalik menjadi gelas kaca seutuhnya
setelah berubah bentuk menjadi pecahan gelas. Pertanyaannya, mengapa
bisa seperti itu?
Dalam
tinjauan Fisika, peristiwa tersebut adalah peristiwa alam. Alam bekerja
sesuai aturan tertentu. Aturan ini (peristiwa gelas kaca pecah)
berhasil dibukukan dalam Fisika yang kemudian kita kenal dengan hukum
kedua Termodinamika. Hukum Kedua Termodinamika ini menjelaskan bahwa
semua sistem (Fisika.red) yang dibiarkan tanpa gangguan akan rusak,
terurai, dan tak beraturan sejalan dengan waktu.
Jadi,
dalam peristiwa pecahnya gelas tadi, pembiaran terjadi pada saat gelas
terjatuh bebas hingga membentur lantai. Hal ini tidak bisa dikatakan,
bukankah justru karena adanya gangguan (bergesernya gelas) yang
menyebabkan gelas pecah?. Sebab, gangguan hanya terjadi saat tersentuh
dan bergesernya gelas hingga gelas tidak bersentuhan lagi dengan meja.
Seandainya ganguan ada saat gelas jatuh bebas, gelas tidak jadi pecah.
Karena pada akhirnya gelas pecah, berarti terjadi pembiaran saat gelas
terjatuh bebas.
Kerusakan
pada sistem, terjadi sejalan dengan waktu. Inilah alasan mengapa tidak
bisa terjadi peristiwa sebaliknya, pecahan gelas di lantai menjadi gelas
kaca seutuhnya di atas meja. Sebab, peristiwa sebaliknya tersebut tidak
sejalan dengan waktu.
Peristiwa
di atas adalah salah satu contoh peristiwa alam yang dijelaskan oleh
hukum kedua Termodinamika. Ada banyak peristiwa lain yang dapat
dijelaskannya, sebab ini merupakan hukum utama dari semua ilmu
pengetahuan. Itu merupakan pengakuan Albert Einstein. Bahkan, astronom Sir Arthur
Stanley Eddington juga menyatakan bahwa hukum kedua Termodinamika ini
adalah hukum metafisika tertinggi di jagat raya ini.1
Melalui
hukum fisika ini, kita tahu bahwa sistem atau materi-materi di alam
semesta akan berubah menjadi materi yang rusak, tidak teratur, dan
terurai jika dibiarkan sepanjang waktu. Contoh lainnya adalah mobil yang
kita parkir di padang pasir. Setahun kemudian kita akan lihat kaca
mobil pecah, bannya kempes, bampernya berkarat, dan sebagainya.
Peristiwa tersebut tidak mungkin berbalik berlawanan arah panah waktu.
Hukum ini juga berlaku untuk makhluk hidup. Termasuk diri kita ini.
Karl Marx
“Manusia yang membuat sejarahnya itu tidak menyadari bahwa dirinya adalah subjek sejarah” (Hardiman, 2009)2.
Di
dalam bukunya, Hardiman mengungkapkan pendapat Habermas mengenai
pemikiran dialektis materialismenya Karl Marx. Bagi Karl Marx, buruh,
alat-alat produksi, dan pemilik modal menarik untuk diamati. Buruh
bekerja dengan alat-alat produksi untuk mengubah bahan baku menjadi
komoditas yang mempunyai harga. Kerja buruh ditukar dengan upah. Upah
digunakan buruh untuk mempertahankan kehidupannya. Adapun harga
komoditas yang telah dihasilkan buruh ditetapkan oleh pemilik modal
(bukan buruh tentunya). Penetapan harga inilah menjadikan pemilik modal
meraih keuntungan melalui penjualan komoditas yang dihasilkan buruh.
Oleh sebab itu, Karl Marx menganggap kerja buruh sebagai sumber “nilai
lebih” yang dinikmati pemilik modal.
Kita Bukan Buruh
Karl
Marx membangun ideologinya melalui pendekatan dua kelas kehidupan
manusia yang mendasar. Mereka adalah kelas pemilik modal dan pekerja
(buruh). Pemikiran-pemikiran yang muncul dari ideologinya berkaitan
dengan kedua kelas tersebut. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran tersebut
digunakan untuk mengatur kehidupan manusia.
Nyatanya,
kehidupan manusia di dunia ini tidak hanya terbagi menjadi dua kelas
tadi. Ada kelas-kelas lain yang tidak masuk ke dalam dua kelas tersebut.
Anak kecil yang tidak bekerja, pedagang, pejabat pemerintah,
penganggur, guru, dosen, pelajar, bahkan mahasiswa adalah contohnya.
Diperlukan pendekatan lain yang lebih universal. Sehingga dengan
pendekatan itu, tidak ada satupun peran manusia yang tidak
terlingkupinya. Selain itu, pendekatan tersebut juga semestinya bersifat
mendasar yang tidak ditemui dasar yang lainnya. Pendekatan tersebut
berupa “aku”.
Dalam
penulisan kata “aku” digunakan tanda kutip untuk menegaskan bahwa “aku”
yang dimaksud bukan hanya diri penulis melainkan juga seluruh manusia
yang ada. Selanjutnya kita akan bedah kata “aku”, apa itu “aku”?. Untuk
membedahnya, kita gunakan dua pendekatan alamiah yang sangat terkait
dengan keberadaan “aku”. Keberadaan dua hal ilmiah tersebut
mendeskripsikan keberadaan “aku” di dunia. Artinya, tanpa penyertaan
kedua hal alamiah tersebut pada diri “aku”, berarti “aku” tidak ada.
Kedua hal alamiah tersebut adalah ruang (tempat) dan waktu.
Sekarang
kita gunakan pendekatan ruang dan waktu untuk menelusuri keberadaan
“aku” di dunia. Penelusuran tersebut mengharuskan penggunaan alat indera
untuk menangkap fakta yang ada pada “aku”. Fakta yang terdekat dengan
alat indera “aku” adalah hidupnya “aku” sekarang ini di dunia. Sekarang
“aku” ada di dunia, lantas seperti apa “aku” sebelum ada di dunia ini.
Kita dapat menjawab pertanyaan tadi dengan menyatakan bahwa “aku”
sekarang ada di ITB, dan sebelumnya “aku” ada di Sekolah Menengah Atas
masing-masing. Konsekuensinya, jawaban tersebut menimbulkan pertanyaan
lanjutan, lantas sebelum ada di SMA “aku” darimana?. Pertanyaan demi
pertanyaan akan muncul seiring dengan masih bisanya awal dianggap akhir
akhir yang semula awal untuk menemukan apa yang lebih mengawalinya.
Pertanyaan ini sesuai dengan kaidah ketidakazalian manusia. Sebagaimana
diungkapkan oleh Ghanim Abduh, adanya akhir mengharuskan adanya
permulaan3.
Pertanyaan selanjutnya adalah hendak kemana “aku”
setelah ada di dunia?. Kedua pertanyaan tersebut semestinya kita jawab
sebelum kita kemukakan untuk apa “aku” ada di dunia ini?.
Sesuai
dengan urutan tersebut, pertanyaan-pertanyaan kita jawab dan akan kita
dapatkan jawabannya. Jawaban atas pertanyaan terakhir kita gunakan
sebagai landasan dasar mendeskripsikan keberadaan kita di dunia. Hal ini
berlaku universal kapan pun dan di mana pun kita berada. Kita sekarang
di dalam gedung kuliah, di gubuk-gubuk persawahan, atau pun istana
negara. Kita harus menjawabnya, karena itu adalah hal yang mendasar
dalam kehidupan kita.
Keberadaan
kita di dunia tidak bisa lepas dari alam semesta. Misalnya, kita sedang
membaca koran. Koran bagian dari alam semesta. Kita perlu memegangnya
secara tepat untuk memastikan koran tidak jatuh ke lantai saat kita
baca. Karena kita tahu bahwa koran juga materi yang tidak bisa lepas
dari pengaruh gravitasi bumi. Selain itu, koran yang kita baca terkait
dengan keberlangsungan waktu saat koran diterbitkan. Kita tahu bahwa
semua koran pasti disertai dengan tanggal terbit di bagian kiri atau
kanan atas koran tersebut. Dari satu contoh aktivitas kita ini, nyatalah
bahwa keberadaan kita di dunia ini tidak bisa lepas dari alam semesta.
Habermas
membagi praksis manusia menjadi dua yaitu tindakan instrumental dan
tindakan komunikatif. Tindakan instrumental adalah tindakan dasar
manusia terhadap kenyataan non-sosial (alam). Sedangkan tindakan
komunikatif berkaitan dengan tindakan strategis yang dilakukan terhadap
kenyataan sosial4. Artinya, ketika kita membaca koran
termasuk bagian dari kegiatan instrumental. Sebab, koran yang menjadi
bagian dari alam tadi sedang kita taklukkan dari pengaruh gravitasi bumi
tadi. Sedangkan tindakan komunikatifnya bisa berupa kita menceritakan
kembali isi koran yang telah kita baca kepada teman-teman kita.
Rentetan
tindakan yang kita lakukan baik tindakan instrumental maupun
komunikatif dalam kerangka waktu tertentu membentuk sejarah. Untuk
itulah Habermas melalui Hardiman menyatakan pemikiran Karl Marx bahwa
manusia yang membuat sejarahnya tidak menyadari bahwa dirinyalah subjek
sejarah. Manusia yang dimaksud Marx adalah kaum buruh, pekerja.
Sedangkan sejarah yang dimaksud adalah sejarah perguliran sejarah
Kapitalisme dunia.
Baik
kemarin maupun sekarang, kita selalu menjadi bagian dari subjek
sejarah. Sejarah mengungkapkan peradaban manusia yang dicetaknya melalui
tindakan-tindakan. Terhadap peradaban yang ada sekarang, kita mempunyai
dua pilihan sikap. Kita akan tinggal diam untuk memperlama umur
peradaban atau bergerak melawan mempersingkat umur peradaban sekarang.
Itu pilihan kita. Kita dapat memilihnya setelah menemukan jawaban atas
pertanyaan mendasar mengenai keberadaan kita di dunia saat ini. Agar,
yang kita pilih benar-benar kita sadari hakikatnya. Sehingga, kita tidak
akan diasamakan dengan kaum buruh yang tidak menyadari keberadaannya di
dunia turut melanggengkan sejarah Kapitalisme dunia menurut Karl Marx.
Kesadaran kita akan sempurna dengan penyertaan ketidakazalian alam
semesta. Bahwa menurut Hukum Kedua Termodinamika, waktu tidak mungkin
berbalik arah menuju masa lalu. Setiap saat kita mengalami kurangnya
kesempatan untuk tetap berada di dunia mencetak peradaban. Rusaknya,
mobil yang dibiarkan di padang pasir, hilangnya energi dari batu batere
yang kita gunakan menghidupkan komputer, hilangnya kemampuan mendengar
telinga, melemahnya ketajaman penglihatan mata, tersendatnya suara yang
keluar dari mulut, bahkan melemahnya kelincahan tangan untuk menari di
atas keyboard komputer kita adalah suatu keniscayaan adanya.
Entah kita akan mengalami atau tidak itu sesuatu yang lain. Jelasnya,
itu bisa saja terjadi pada diri kita.
Referensi
[1] id.harunyahya.com/id book/3015/DARWINISME_TERBANTAHKAN/chapter/10479
[2] Hardiman, Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta ,Kanisius, 2009
[3] Abduh, Ghanim, Kritik Atas Sosialisme Marxisme, Bangil, Al-Izzah,2003
[4] Hardiman, Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta ,Kanisius, 2009
No comments:
Post a Comment