Beberapa hari lalu aku mendapat kiriman pertanyaan seorang teman lewat sms. Seperti ini bunyinya "tom, mengapa manusia harus hidup di dunia?". Aku bingung. Butuh sehari semalam memecah kebingungan itu. Akhirpun aku jawab sekenanya, "...tujuan penciptaan manusia tidak lain untuk memakmurkan dunia dan menjadi hambaNya, untuk bisa memakmurkan dunia dan menjadi hambaNya, manusia harus hidup di dunia."
Manusia dengan beragam latar belakang suku, bangsa, minat, keunikan, dan kemampuannya tercipta untuk memakmurkan dunia. Dari sanalah kehidupan dunia terangkai. Kehidupan aku mengartikannya sebagai apa-apa yang terkait dengan hidupnya manusia. Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik, Pendidikan, Industri, Sains dan Teknologi, manusia itu sendiri dan lain-lainnya adalah kehidupan dunia. Dengan beragamnya manusia, kehidupan bisa terangkai seperti sekarang, cenderung seimbang dan berkelanjutan. Sulit dibayangkan, seandainya kita tidak mempunyai perbedaan dengan orang-orang di sekitar kita. Semua orang di dunia sama. Aku, kamu, dia, dan mereka semua di dunia mempunyai satu minat, satu keunikan dan satu kemampuan yang sama. Apa yang akan terjadi? Sulit dibayangkan, manusia sudah terbiasa dengan keseimbangan dan keberlanjutan kehidupan dunia dengan beragamnya manusia.
Untuk menjalankan tugasnya masing-masing, manusia diberikan bekal yang sama yaitu akal, kebutuhan jasmani, dan naluri meskipun dengan kadar berbeda-beda. Dari sanalah terbentuk kemampuan, minat dan keunikan pada diri manusia.
Apabila kita amati, wujud dari hidupnya manusia memakmurkan dunia adalah aktivitas manusia itu sendiri. Aktivitas manusia berkaitan dengan entitas ada dan waktu. Dari sini kita perlu memetakan entitas ada dan waktu, dan hubungan diantara keduanya.
Entitas ada terdiri atas ada, akan ada, pernah ada, dan tidak ada. Waktu berupa sekarang, masa depan, dan masa lalu. Ada terkait dengan sekarang, akan ada dan masa depan berkaitan, pernah ada berkaitan dengan masa lalu, sedangkan tidak (pernah) ada tidak berkaitan dengan wujud waktu manapun.
Aktivitas seseorang terkait dengan apa yang dipikirkan sebelumnya (meskipun kadang tidak demikian, misalnya gerak reflek manusia). Hal ini mempunyai arti bahwa untuk dapat melakukan aktivitas, seseorang perlu berpikir. Berpikir sebelum beraktivitas, menjadikan aktivitas mempunyai kejelasan arah. Seseorang yang senantiasa menggunakan akal pikirannya, akan terlihat kejelasan arah hidupnya.
Memang, akal mempunyai kemampuan yang dapat digunakan untuk berpikir. Akan tetapi, akal mempunyai keterbatasan. Akal dapat digunakan untuk berpikir mengenai apa yang ada sekarang. Pun demikian untuk yang pernah ada pada masa lalu. Melalui kemampuan untuk membayangkannya, apa yang pernah ada dapat dipikirkan. Akan tetapi, bagaimana untuk yang akan (belum) ada yaitu pada rentang waktu masa depan? Misalnya, apa jawaban kita atas pertanyaan, apakah besok matahari terbit dari timur? kita akan menjawabnya "ya, besok matahari akan terbit dari timur". Kita memberikan jawaban seperti itu karena memang matahari selama ini selalu terbit dari timur. Oleh manusia, keteraturan alam tersebut dijadikan objek penempaan salah satu metode berpikir yang biasa dikenal dengan metode ilmiah. Namun, dapatkah kita memasikan bahwa besok matahari akan terbit dari timur? tidak bisa, kita tidak dapat memastikan apa yang akan ada pada masa depan.
Jadi, kita tidak dapat memastikan apa yang akan ada pada masa depan, meskipun kita dapat mengetahuinya. Artinya, pengetahuan kita atas apa yang akan ada pada masa depan tidak pasti. Tidak hanya matahari yang akan terbit dari timur yang tidak bisa kita pastikan. Semuanya terlingkup di dalam entitas yang akan ada pada masa depan. Hidup, mati, jodoh, ridzki, karir, jawaban dari seseorang yang kita tunggu-tunggu, dan sebagainya tidak dapat kita ketahui secara pasti.
Spiritualitas menawarkan solusi atas keterbatasan akal tersebut. Spiritualitas berasal dari Allah Yang Maha Kuasa, yang menciptakan manusia dan akalnya. Hanya Allahlah yang menguasai masa depan. Allah tahu apa yang akan ada pada masa depan. Allah memerintahkan kita untuk menjadi hambaNya. Hamba yang patuh dan taat atas perintah dan laranganNya. Spiritualitas kita akan tumbuh seiring pengakuan diri kita yang terbatas dihadapanNya.
No comments:
Post a Comment