Ingatan itu masih ada. Meskipun sudah 10 tahun berlalu. Siang hari di dalam kelas di sebuah sekolah yang terletak di tengah sawah, bu Yuli mengajarkan kami suatu materi tentang asosiasi. Bu Yuli adalah guru bahasa Indonesia SMP kami waktu kelas 2. Beliau adalah salah satu guru yang terkenal di kalangan sekolah kami karena kecantikan wajahnya. Ya, orang-orang mengenalnya dari wajahnya yang cantik. (bu Yuli apa kabar? semoga Ibu baik-baik saja, terima kasih untuk pelajaran yang Ibu berikan.. :). Ohya, kembali ke pelajaran asosiasi, waktu itu bu Yuli melontarkan suatu kata kepada kami. Kamipun disuruh menyebutkan kata-kata yang berasosiasi dengannya. Kalau tidak salah ingat, beliau menyebutkan kata "pantai". Kami pun memikirkan kata apa saja yang berasosiasi dengan kata pantai. Beberapa kata terlontar membumbung di ruang kelas. Kemudian bu Yuli menanggapinya, memberikan satu patah kata sehingga sampai saat ini aku masih mengingatnya sebagai pelajaran yang tak akan lekang oleh waktu. hoho.
Memang benar, pelajaran yang satu inilah yang sampai saat ini dapat aku ingat dengan baik. Selebihnya, tidak dapat ku ingat dengan baik. Mungkin seperti itulah cara mengajar yang baik, dengan menciptakan suatu suasana partisipatif antara guru dan muridnya.
Kini, setelah sekian tahun lamanya pelajaran itu diberikan, aku akan coba untuk belajar secara mandiri. Membangun suasana interaktif pada diri ini. Di sebuah ruang yang tidak dapat di isi oleh bangku dan meja sekolah apalagi sedikit tempat kosong untuk bu Yuli berdiri membangun suasana interaktif tadi. Kontemplasi cukuplah dilakukan di benak ini. Pada satu sesi aku akan menjadi bu Yuli yang melontarkan satu kata, pada sesi lain aku akan menjadi teman-temanku yang melontarkan kata-kata yang berasosiasi dengannya dan aku berharap "bu Yuli" bisa hadir kembali untuk menerangkan apa maksud semua ini.
Memang benar, pelajaran yang satu inilah yang sampai saat ini dapat aku ingat dengan baik. Selebihnya, tidak dapat ku ingat dengan baik. Mungkin seperti itulah cara mengajar yang baik, dengan menciptakan suatu suasana partisipatif antara guru dan muridnya.
Kini, setelah sekian tahun lamanya pelajaran itu diberikan, aku akan coba untuk belajar secara mandiri. Membangun suasana interaktif pada diri ini. Di sebuah ruang yang tidak dapat di isi oleh bangku dan meja sekolah apalagi sedikit tempat kosong untuk bu Yuli berdiri membangun suasana interaktif tadi. Kontemplasi cukuplah dilakukan di benak ini. Pada satu sesi aku akan menjadi bu Yuli yang melontarkan satu kata, pada sesi lain aku akan menjadi teman-temanku yang melontarkan kata-kata yang berasosiasi dengannya dan aku berharap "bu Yuli" bisa hadir kembali untuk menerangkan apa maksud semua ini.
Baiklah, aku akan melontarkan kata "manusia". Kira-kira apa saja kata yang berasosiasi dengan kata tersebut?. Manusia, hidup, kebutuhan, keinginan, makan dan minum, rekreasi, makhluk individu, sosial, komunikasi, naluri, buang air besar dan kecil, berpikir, berperasaan, aktivitas, ekonomi, politik, industri, keamanan, pendidikan, kesehatan, kesepian, keluarga, pernikahan, motivasi, inspirasi dan sebagainya.. Ternyata banyak betul kata yang berasosiasi dengan kata manusia. Begitu komplekskah hidupnya manusia? Begitu kompleksnya manusia dan hidupnya di dunia. Mungkin kita tidak menyadarinya bahwa itu terlalu kompleks.
Pelajaran selanjutnya aku dapatkan dari aktivitasku di kampus. Di kampus ini aku dipertemukan dengan saudara seiman yang mencoba mengajakku pada penyadaran kehidupan. Ya, aku diajak untuk menyadari bagaimana kompleksitas kehidupan manusia tersebut dapat terjadi. Pelajaran diawali dengan memahami hakekat manusia seutuhnya.
Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk istimewa yang diberikan beberapa potensi berupa potensi akal, kebutuhan jasmani dan naluri. Dari potensi inilah lahir kompleksitas manusia. Sehingga penyadaran akan kompleksitas manusia selalu diawali dengan hakekat manusia itu sendiri.
Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk istimewa yang diberikan beberapa potensi berupa potensi akal, kebutuhan jasmani dan naluri. Dari potensi inilah lahir kompleksitas manusia. Sehingga penyadaran akan kompleksitas manusia selalu diawali dengan hakekat manusia itu sendiri.
Naluri manusia meliputi, naluri bertuhan, mempertahankan diri, dan naluri mempertahankan keturunan. Kita diajarkan guru SD bagaimana sejarah perjalanan pencarian Tuhan oleh manusia. Dahulu manusia menyembah berhala, matahari, patung, gunung dan sebagainya. Manusia menyembah sesuatu yang dianggapnya lebih kuat dari dirinya. Ia merasa lemah di hadapan sesuatu yang disembahnya. Naluri ini sama dengan kita yang Muslim yang menghambakan diri kepada Allah. Allahlah Yang Maha Kuasa. Kita menyadari bahwa diri kita lemah dan menghambakan diri padaNya adalah wujud pengakuan kita bahwa Allah Yang Maha Kuasa. Ritualitas mampu menjawab tantangan yang lahir dari naluri bertuhan manusia. (Kamu bisa mengunjungi tulisanku yang lain tentang ritualitas Ritualitas, Pengakuan atas Diri yang Terbatas :) )
Kedua adalah naluri mempertahankan diri. Naluri ini menjaga eksistensi diri manusia di dunia. Wanita yang menjinjing tas akan teriak saat tasnya dijambret orang. Rentang waktu teriakannya dan sesaat penjambret beraksi mengambil tas yang berisi barang berharga seorang wanita begitu dekat. Wanita tadi tidak perlu berpikir matang-matang untuk menyadari bahwa dirinya sedang dijambret. Saat itulah naluri mempertahankan diri memantik teriakannya. Kita akan menemukan banyak contoh lain di kehidupan ini bagaimana seorang manusia mempertahankan dirinya dengan naluri ini. Seorang politikus yang mempertahankan gagasannya saat berdebat walaupun itu sudah dibuktikan kesalahannya adalah contoh lainnya.
Ketiga adalah naluri mempertahankan keturunan. Seorang laki-laki akan tertarik pada seorang perempuan. Ketertarikan dapat berupa pemendaman perasaan hingga perilaku menyimpang. Kita, orang tua kita, kakek dan nenek kita, buyut kita akan mengalami hal yang sama, tertarik pada lawan jenis.
Ketiga adalah naluri mempertahankan keturunan. Seorang laki-laki akan tertarik pada seorang perempuan. Ketertarikan dapat berupa pemendaman perasaan hingga perilaku menyimpang. Kita, orang tua kita, kakek dan nenek kita, buyut kita akan mengalami hal yang sama, tertarik pada lawan jenis.
Potensi lain yang diberikan Allah pada kita adalah adalah kebutuhan jasmani yang berupa kebutuhan akan makan, minum, tidur, dan buang air. Jika tidak dipenuhi, kebutuhan ini dapat menimbulkan kerusakan pada manusia hingga kematian. kebutuhan ini wajib dipenuhi. Dapat dibayangkan, bagaimana jadinya kita tidak makan untuk beberapa hari. Pada hari kesekian kita tidak makan kita akan mengalami kematian.
Permasalahan kehidupan manusia terletak pada bagaimana pemenuhan kebutuhan jasmani dan nalurinya. Kita akan melihat itu pada pemikiran buah karya para pemikir ataupun filsuf. Namun, tulisan ini dicukupkan pada potensi manusia ini tidak sampai pada solusinya. Karena itu pembahasan yang lain dan dibutuhkan pembahasan lain untuk melengkapinya.
Ada yang menarik dari itu semua, bahwa ketiga potensi tersebut saling berkaitan. Kebutuhan jasmani dan naluri adalah sesuatu yang perlu dipenuhi, diatur dan dikenalikan. Di sinilah letak akal pikiran manusia. Allah memberikan akal pikiran agar kita dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri sesuai dengan keridhaanNya. Seperti apa pemenuhan naluri mempunyai keturunan yang diridhaiNya, di sinilah peran akal bekerja....
Ada yang menarik dari itu semua, bahwa ketiga potensi tersebut saling berkaitan. Kebutuhan jasmani dan naluri adalah sesuatu yang perlu dipenuhi, diatur dan dikenalikan. Di sinilah letak akal pikiran manusia. Allah memberikan akal pikiran agar kita dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri sesuai dengan keridhaanNya. Seperti apa pemenuhan naluri mempunyai keturunan yang diridhaiNya, di sinilah peran akal bekerja....
No comments:
Post a Comment