Thursday, 29 November 2012

Definisi Definisi

"Berikan kail bukan ikan"

Orang Indonesia tidak akan asing dengan peribahasa ini. Peribahasa yang diberikan kepada siswa SD, namun filosofinya mampu menjangkau semua kalangan. Agaknya, peribahasa inilah yang akan mengkomunikasikan ide artikel sederhana ini.

Kebersamaan dengan HATI-ITB selama ini membawaku pada dunia baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku menemukan hal-hal baru di sini. Sebagai unit kajian Islam ideologis, HATI menawarkan cita rasa baru memandang suatu masalah. Sistematis, terstruktur, berkesinambungan, mendasar, dan menyeluruh agaknya itulah sifat-sifat yang senantiasa diperjuangkan dalam membangun dan menyampaikan ide yang dibawanya.

Salah satunya ialah mendasar. Untuk sifat ini, aku diperkenalkan pada definisi sebuah definisi. Ya, bagiku itu mendasar. Definisi-definisi mempunyai definisi. Ia mendefinisikan definisi. Ketika definisi sebuah definisi diajarkan, aku merasa mendapat kail untuk menangkap ikan. Ya, aku dapat memilih, ikan mana yang akan aku pancing dengan kail yang aku dapatkan.

Mengambil pendapat an-Nabhani, HATI mengajariku bahwa definisi itu mencakup keseluruhan objek yang didefinisikan. Hal ini disebut dengan sifat menyeluruh. Maksudnya, definisi suatu objek yang didefinisikan harus meliputi keseluruhan objek. Tidak boleh ada satu pun objek yang tidak tercakup di dalamnya. Ketika kita mendefinisikan apa itu masyarakat, keseluruhan wujud masyarakat tersebut harus tercakup. Tidak boleh ada satu pun wujud masyarakat yang tidak tercakup.

Selain itu, definisi juga harus bersifat menegasikan. Artinya, objek yang memang tidak tercakup di dalam definisi harus dinegasikan bahwa ia tidak masuk dalam definisi. Misalnya untuk Definisi Masyarakat tadi, pertemuan individu-individu di dalam kapal pesiar bukan masyarakat. Maka, definisi masyarakat yang benar tidak memungkinkan objek tersebut tercakup di dalam definisi. Jadi, definisi itu mempunyai dua sifat, menyeluruh yang mencakup keseluruhan objek yang didefinisikan dan menegasikan untuk objek yang memang tidak tercakup di dalam definisi.


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 29 November 2012 19:45 WIB

Tuesday, 27 November 2012

Menelusuri Definisi Masalah

Pagi tadi aku menerima sebuah sms, "Aslm, kang, antum punya definisi tentang 'masalah' gak?". Aku kira ada buku baru yang mengupas tentang definisi masalah. Setelah sms kedua dia memperjelas bahwa dia sedang menanyakan apakah definisi masalah aku punyai. Aku meninggalkan jawaban sekenanya sambil jalan keluar kost an, "tunggu satu setengah jam lagi, aku akan coba jawab". Aku beli nasi uduk di warung dekat kost an. Berjalan sambil menikmati kontemplasi topik yang dipertanyakan. hehehe

Lebih dari setahun yang lalu aku juga pernah memikirkan itu. Namun tidak sempat aku tuliskan. Karena memang belum 'lengkap', juga belum terpikirkan untuk menuliskannya. Aku menambahkan tanda kutip pada term lengkap, karena itu relatif. Kontemplasiku relatif belum lengkap waktu itu. Namun bukan berarti, kontemplasiku sekarang sudah lengkap. Lagi-lagi itu hanyalah relatif.

Nampaknya, sms temenku tadi memicuku untuk kembali berkontemplasi. “Terima kasih teman sudah mengingatkan” (ucapku di dalam hati). Aku pikir melanjutkan kontemplasi ini baik untukku. Mengapa? tahukah kamu? Bahwa ternyata, mendefinisikan masalah berguna untuk dakwah kita. Tidak percaya? Mari kita coba buktikan, bismillah.

Menulusuri definisi masalah bukan tanpa masalah. Namun, justru dengan adanya masalah itulah kita sedang dihadapkan langsung pada objek penelusuran. Akan tetapi, kali ini, masalah tersebut tidak akan kujadikan objek penelusuran di sini. Aku akan menggunakan objek lain. Di sini aku menggunakan keumuman orang yang sedang menghadapi masalah. Bagi dirinya itu adalah masalah, sedangkan bagi orang lain itu tidak jadi masalah. Banyak fakta yang kita temukan demikian. Ada seseorang yang menganggap penghasilannya yang tidak naik-naik sebagai masalah. Hingga ia menyimpang dari tuntunan agamanya. Ia akan korupsi untuk meningkatkan penghasilannya. Atau ia akan ke dukun untuk meminta pesugihan. Masalah baginya ialah tidak naiknya penghasilan yang didapat. Sedangkan bagi orang lain, itu tidak menjadi masalah. Ada orang lain selain dirinya yang menganggap bahwa tidak naiknya penghasilan tidak jadi masalah. Kita tarik kesimpulan dari sini bahwa masalah terletak pada seseorang. Masalah terletak pada benak seseorang.

Jadi, sebenarnya, masalah itu berupa informasi. Karena ia tersimpan di dalam benak seseorang. Masalah akan tersimpan di dalam benak seseorang hingga pemicu timbulnya masalah tersebut hilang dalam benaknya. Ya, masalah seseorang mempunyai pemicunya. Mulanya ia akan menyerap fakta, kemudian masalah itu timbul. Hanya itu? Tentunya tidak. Spesifikasi fakta tentu berlaku untuk hal ini. Yang menjadi masalah bukan hanya fakta yang terserap tadi. Melainkan juga bagaimana penyerapan  fakta tadi dihubungkan dengan persepsi atau pemikirannya. Jadi, yang menentukan fakta yang terserapnya itu memicu masalah atau tidak adalah persepsi atau pemikirannya.

Persepsi atau pemikiran dan fakta yang terserap memicu timbulnya masalah di dalam benak seseorang. Namun, keduanya tidak akan memicu kecuali keduanya berbeda. Persepsi atau pemikiran sejatinya mengandung gambaran fakta. Sebab, pemikiran ialah status atas fakta. Sedangkan persepsi itu akumulasi pemikiran-pemikiran teradopsi yang saling membangun. Perbedaan fakta yang dikandung persepsi atau pemikiran dengan fakta yang terserap tadilah yang menjadikan masalah itu ada. Artinya, masalah tidak akan timbul saat gambaran fakta di antara keduanya sama. Orang yang mempunyai persepsi bahwa tampilnya Lady Gaga di atas panggung adalah baik tentunya tidak akan timbul pada benaknya suatu masalah jika Lady Gaga jadi manggung di Indonesia. Karena gambaran fakta yang ada di persepsinya sama dengan fakta yang terserap.

Persepsi atau pemikiran akan diadopsi seseorang jika itu baik dan benar baginya. Sebagaimana dalam artikelku sebelumnya, Mengapa Berpikiran Terbuka? Sejatinya kejernihan dan kemurnian akal dan seseorang condong pada kebenaran dan kebaikan. Meskipun, tidak selamanya proses berpikir seseorang mengantarkan pada kebenaran. Gambaran fakta yang bagi seseorang baik dan benarlah yang mengendalikan perumusan masalah atas fakta yang terserap. Sehingga masalah yang timbul di benak seseorang adalah manifestasi gangguan akan kebaikan dan kebenaran yang diadopsinya selama ini. Sampai di sini kita telah membahas masalah yang ada di dalam benak seseorang. Sedangkan masalah lain terletak pada domain ruang. Masalah tersebut terletak di lapangan.

Namun, tidak timbulnya masalah di dalam benak seseorang bukan berarti tidak ada masalah di lapangan. Karena boleh jadi ia tidak menyerap fakta yang ada di lapangan. Pada artikelku sebelumnya, Kontemplasi Kata Ada aku menyebutkan adanya fakta tidak bergantung indera manusia. Sebab, fungsi indera ialah menemukan fakta bukan menciptakannya. Juga, boleh jadi ia belum mengadopsi persepsi atau pemikiran yang di dalamnya terkandung fakta yang berbeda dengan fakta yang terserap.

"Jadi, adanya masalah di lapangan sangat bergantung dari persepsi manusia tentang baik dan buruk?" Temenku melanjutkan sms, setelah aku sampaikan poin-poin uraian di atas. Aku menjawab sekenanya, "Bukan, masalah di lapangan bergantung pada seberapa persen tidak terimplementasikannya persepsi baik dan benar seseorang di lapangan. Makna imbuhan ter- pada kata implementasi bermakna ketidaksengajaan (ingat kembali pelajaran bahasa Indonesia SMP)." Aku menggunakan makna tidak sengaja karena masalah yang ada di lapangan terkadang ditimbulkan oleh akumulasi perbuatan banyak orang. Sehingga, bisa saja masalah timbul tanpa campur tangan seseorang yang mempunyai persepsi baik dan benar tadi. Karena masalah ditimbulkan oleh banyak orang lain. Tidak terimplementasi berarti tidak ada implementasi karena pengaruh banyak orang lain. Sejatinya, apa yang terbentuk di lapangan akan lebih rumit daripada pembentukan persepsi seseorang. Sebab, itu tidak hanya menyangkut masalah persepsi seseorang melainkan menyangkut persepsi masyarakat, pemegang kekuasaan, dan sistem yang diterapkan. Jadi, masalah di lapangan tidak bergantung pada persepsi baik dan buruk seseorang.

Dari sinilah an-Nabhani menawarkan gagasan berupa dakwah masyarakat. Setelah melewati tahapan pembinaan individu, Beliau mengkodifikasi dakwah Rasulullah sebagai dakwah kepada masyarakat. Oleh karenanya, beliau juga mendefinisikan apa itu masyarakat. Sebab, sekuat-kuatnya persepsi baik (tentang Islam) terbentuk pada individu-individu tidak akan menghasilkan perubahan atas fakta di lapangan. Perubahan yang berupa hilangnya masalah di lapangan dilakukan secara bersama-sama. An-Nabhani memulai itu semua dengan mengubah persepsi seseorang tentang fakta.

Perubahan persepsi akan mendorong seseorang untuk mengajak yang lainnya untuk bersama-sama mengubah fakta yang ada. Perubahan persepsi akan menghasilkan masalah di benaknya. Timbunya masalah tersebut mendorong seseorang untuk mengubah fakta bersama orang lain. Persepsi atau pemikiran yang tidak sampai menimbulkan masalah di benaknya, tidak akan mendorong seseorang untuk mengubah fakta. Sebab, baginya tidak ada perbedaan antara fakta yang terserap dengan yang dikandung persepsi. Fisika juga mengajarkan demikian. Gerak suatu benda terjadi karena adanya perbedaan. Gerak elektron, jatuhnya buah apel, atau tereksitasinya atom terjadi karena adanya perbedaan. Jadi perbedaan fakta yang terkandung didalam persepsi akan mendorong seseorang mengubah fakta yang ada di lapangan.

Inilah filosofi dakwah an-Nabhani. Beliau mendorong seorang kader dakwah untuk menghancurkan sehancur-hancurnya persepsi apapun yang bertentangan dengan Islam. Hingga persepsi tersebut tidak lagi digunakan oleh seorang muslim. Beliau tidak mengambil jalan tengah, dengan cara mengkompromikan apa yang haq (Islam) dengan yang bathil (ghair Islam). Beliau juga tidak mengambil maslahat dengan jalan mencampurkan yang haq dan yang bathil. Sebab, masih digunakannya, persepsi ghair Islam akan memperlambat proses perubahan. Ia akan menghambat seseorang untuk cenderung kepada perubahan. Baru setelah dihancurkan sehancur-hancurnya, Beliau mengajak umat Islam untuk membangun persepsi Islam seutuhnya dan seluruhnya. Oleh teman-teman HATI (sebuah unit kajian Islam ideologis yang bergerak di ITB) cita rasa dakwah an-Nabhani seperti ini dinamakan dengan Dekonstruksi dan Rekonstruksi, yaitu menghancurkan dan membangunnya kembali. Kesimpulannya, menelusuri definisi masalah, akan terkait erat dengan dakwah Islam.


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 27 November 21:08

Sunday, 25 November 2012

Mengapa Berpikiran Terbuka?

Pada artikel sebelumnya, Tuliskanlah dasar argumen untuk menulis telah dipaparkan. Kita yang kecil menempati alam semesta yang terbentang luas. Implikasinya, jangkauan inderawi kita terbatas pada apa-apa yang pernah kita temui. Apa yang tidak pernah kita temui, berarti bukan jangkauan inderawi kita. Hasilnya ialah di antara kita akan berjarak. Jarak artinya adanya dua titik yang terpisah yang dihubungkan dengan satu garis imajiner, garis lurus. Aku di titik ini menemui bagian alam semesta yang seperti ini dan engkau di sana menemukan bagian alam semesta yang seperti itu. Kita berjarak.

Selain itu, kadar inderawi untuk meresapi, kadar akal untuk memikirkan, sensitifitas hati untuk merasa, dan kadar jiwa untuk menghayati alam semesta kita juga berbeda. Walaupun fakta yang kita indera sama, informasi sebelumnya juga sama, perangsang sensitifitas hati yang sama, dan dinamika alam semesta yang kita hayati sama, tidak dengan hasil. Hasil yang berupa penyerapan fakta, pemikiran, sensitifitas hati merasa, dan dinamika jiwa menghayati tetap akan berbeda dengan kadar masing-masing yang berbeda di antara kita. Kita memang berbeda.

Menuturkan, menyampaikan, dan menuliskan merupakan cara orang menanggapi kehadirannya yang berjarak dan kenyataannya yang berbeda. Antara satu orang dengan orang yang lainnya berjarak dan berbeda. Namun, dengan menulislah, apa yang menjadi makna di dalamnya dapat diteruskan ke berbagai penjuru alam semesta. Juga melintasi sepanjang panah waktu bergerak. Menulis mempertahankan keawetan makna yang dikandung di dalam tulisan. Menulis juga mendekatkan makna dengan keabadian. Meskipun hanya berupaya untuk dekat kepadanya, bukan menciptakan keabadian itu sendiri. Kita akan berhadapan dengan keterbatasan diri untuk menciptakan keabadian. Apa yang kita kuasai sebatas terhubungnya kita dengan alam semesta. Juga waktu yang bersinggungan dengan umur kita. Selebihnya kita benar-benar makhluk lemah yang tidak berdaya apa-apa atas apa yang terjadi. Menulis ialah mendekatkan makna yang dikandung dalam tulisan pada keabadian.

Ada banyak hal yang menguraikan mengapa kita lemah. Kita yang berjarak dan berbeda adalah manifetasi kelemahan kita. Kita berjarak artinya, jangkauan inderawi kita berbeda. Apa yang aku jangkau dan apa yang engkau jangkau tidaklah sama. Karena, kita berjarak berarti apa yang kita temukan akan berbeda. Kita berbeda artinya, kadar-kadar yang ada pada organ-organ hidup kita sehingga kita meresapi, memikirkan, merasakan, dan menghayati alam semesta ini juga berbeda. Berbeda berarti, kadar-kadar yang kita punyai dibandingkan kadar-kadar yang dipunyai orang lain akan menghasilkan tingkatan jika dijejerkan di kedudukan yang sama. 7, 8 berbeda dengan 9. 7,8 dan 9 jika dijejerkan akan bertingkat berupa 7,8,9. Kita lemah.

Manusia dengan kejernihan dan kemurnian akalnya cenderung pada kebenaran. Apa yang benar lebih disukainya daripada yang salah. Manusia selalu mencari kebenaran. Namun, manusia seutuhnya berbeda dengan kejernihan dan kemurnian akalnya. Manusia seutuhnya dilihat dengan karakternya. Karakter manusia satu dengan yang lainnya tentu akan berbeda. Namun kecenderungan setiap manusia dari kejernihan dan kemurnian akalnya akan tetap sama. Mereka cenderung pada kebenaran. Karakter manusia berpotensi menodai kejernihan dan kemurnian akalnya. Sebab, karakter manusia dibangun dari persepsi-persepsinya yang tentang sesuatu. Persepsi dibangun dari pemikiran-pemikiran. Sedangkan pemikiran bergantung pada informasi sebelumnya. Mengenai hal itu aku menuliskannya di sini Merasionalisasi Perasaan. Adapun, informasi sebelumnya yang diterima satu orang dan yang lainnya tidak tentu sama. Sehingga, karakter berpotensi menodai kemurnian dan kejernihan akalya. Tidak jarang akan kita temui, dalam diskusi-diskusi akal manusia yang sudah tersandra oleh karakternya akan susah mengakui kebenaran baru. Ego dan tendensinya mendominasi jalannya diskusi.

Jika mau kembali pada kejernihan dan kemurnian akal, kita sepakat pentingnya kebenaran daripada bertahannya ego dan tendensi diri. Bahkan, dengan cara itulah karakter kita akan teruji. Kalau kita bilang sesuatu itu benar namun belum teruji, itu lemah. Kekuatan akan dibangun dengan kesediaan kita menjalami ujian-ujian. Pemikiran, persepsi, dan karakter kita perlu diuji. Mereka mempunyai ujiannya masing-masing. Pengujian pemikiran berupa dibandingkannya pemikiran itu dengan pemikiran lain. Atau bisa juga dengan mempertanyakan kebenaran pemikiran itu sendiri. Caranya dengan menghadirkan objek-objek lain yang terhimpun dalam objek yang dihukumi. Maksudnya? masih ingat kan pelajaran bahasa Indonesia SMA tentang hiponim dan hipernim? Ya, seperti itu, objek yang kita pikirkan juga ada yang bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum.

Namun, dengan itu bukan berarti kita tidak membutuhkan karakter. Karakter tetap kita butuhkan kehadirannnya untuk menangkap dan menjelaskan bagaimana suatu objek dan kejadian tersebut akan saling terkait. Yang semestinya dihindari ialah menodai kejernihan dan kemurnian akal manusia dengan karakternya sehingga pintu penerimaan terhadap kebenaran akan tertutup. Jadi, kita perlu membuka diri yang diawali dari pikiran kita. Bahwa kita harus berpikiran terbuka.

Berpikiran terbuka bukanlah sesuatu yang buruk. Memang, dengan berpikiran terbuka akan ada kemungkinan kita menghapus pemikiran lama dan mengadopsi pemikiran baru kita. Mungkin juga kita akan menghapus pemikiran baru kita tadi dengan pemikiran yang lebih baru lagi. Namun, yang perlu diingat bahwa baik dan buruk pemikiran bukan terletak pada seberapa kuat dipertahankannya pemikiran oleh seseorang. Sebab, seseorang bisa saja mempertahankan pemikirannya dengan egonya bukan karena pemikiran tersebut kuat dan benar. Baik dan buruk pemikiran seseorang bergantung pada seberapa kuat dan benarnya pemikiran tersebut. Sehingga, intervensi subjektif seseorang atas baik dan buruknya pemikiran dapat dilepaskan. Benar artinya, pemikiran tersebut sesuai dengan fakta. Kuat berarti, mampu mempertahankan pemikiran tersebut atas fakta.

Jadi, berpikiran terbuka tidak mengantarkan pada keburukan. Yang mengantarkan pada keburukan ialah menolak kebenaran. Juga mempertahankan pemikiran yang sudah terbukti kesalahannya. Jadi, mengapa berpikiran terbuka? Sebab, dengan itulah kebenaran akan didapat dan pemikiran yang diadopsi akan semakin kuat setelah melewati masa pengujian. Dengan berpikiran terbuka kita mengakui diri ini lemah dan cahaya kebenaran bisa datang dari mana saja. Karena kita memang berjarak dan berbeda.


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 26 November 2012, pukul 11:30

Tuliskanlah

Aku ada. Engkau ada. Mereka ada. Alam semesta ada. Waktu pun ada. Aku, engkau, mereka, alam semesta, dan waktu pernah ada. Aku, kau, dan mereka terpisah, meski pada waktu yang sama kita berada di alam semesta yang sama. Terkadang, aku dan kau terpisah dengan mereka meski pada waktu yang sama kita berada di alam semesta yang. Pun demikian, ada kalanya aku, kau, dan mereka berkumpul dalam alam semesta dan waktu yang sama.

Suatu saat aku, engkau, dan mereka akan meninggalkan alam semesta. Hubungan kita dengan waktu akan terputus. Terputus dan tidak akan pernah bisa disambung lagi. Terputus dan tidak akan pernah diputar balik, kembali. Arah panah waktu selalu maju. Aku, kau, dan mereka bersama waktu bergerak maju dan pada akhirnya kita akan berpisah. Aku akan berpisah denganmu. Aku akan berpisah dengan mereka. Aku akan berpisah dengan waktu. Begitu pun engkau. Sadarkanlah aku. Sadarlah engkau

Aku ada tanpa kehendakmu. Engkau ada tanpa kehendakku. Alam semesta, waktu, dan mereka ada tanpa kehadiran kehendakku dan kehendakmu. Aku tidak berkuasa atas adanya engkau. Engkau tidak berkuasa atas adanya aku. Aku dan engkau tidak berkuasa atas adanya mereka dan alam semesta. Namun, sekarang, aku, engkau, dan mereka tidak sedang berpisah dengan waktu. Tidak berpisah juga kita dengan alam semesta.

Syukuri, hayati, sadari bahwa aku, engkau, dan mereka ada di sini sekarang. Di sini di alam semesta yang terbentang luas. Sekarang, hanya sesaat yang kita punyai. Alam semesta yang luas, sangat jauh bila dibandingkan dengan aku, engkau, dan mereka yang kecil. Karena itulah kita berjarak. Terkadang, jarak di antara kita mendekat dan menjauh. Aku di sini, kamu di sana, mereka entah di mana. Jangkauan inderawiku apa-apa yang ada di sini. Jangkauan inderawimu apa-apa yang di sana. Jangkauan inderawi mereka apa-apa yang entah di mana. Aku menemukan, mengindera, berpikir, merasa, mengelaborasi apa-apa yang belum tentu engkau dan mereka dapatkan. Engkau menemukan, mengindera, berpikir, merasa, mengelaborasi apa-apa yang belum tentu aku dan mereka dapatkan. Pun demikian dengan mereka, belum tentu kita bisa mendapatkannya.

Aku, engkau, dan mereka berbeda. Kadar khasiat inderawi kita berbeda, kadar berpikir oleh akal kita berbeda, sensitifitas hati kita untuk merasa berbeda. Kita di sini dan sekarang berbeda dan berjarak. Fisika mengatakan perbedaan itu energi. Atom yang tereksitasi dari level tertinggi menuju yang terendah akan melepas energi. Sebaliknya akan membutuhkan energi. Jarak juga energi. Buah apel yang jatuh dari tangkainya akan melepaskan energi. Buah apel yang kita ambil dari tanah ke keranjang yang kita jinjing membutuhkan energi. Perbedaan dan jarak adalah energi. Demikian juga dengan hidup. Hidupnya manusia memuat berbagai perbedaan dan jarak. Aku seperti ini, engkau begitu, mereka seperti itu adanya. Aku, engkau, dan mereka ada di sini dan kadang di sana. Biarlah perbedaan ini ada. Biarlah kita berjarak. Karena dengan itu kita akan saling bergerak. Setiap gerakan akan melahirkan kejadian. Einstein mengajarkan pada kita melalui ucapannya, "Nothing happens until something move".

Namun, aku tidak tahu apa yang kau mau, apa yang kau rasa, apa yang kau pikirkan, dan apa yang kau dapatkan dari kebersamaanmu dengan waktu dan alam semesta. Engkau dan mereka pun tidak tahu apa yang aku mau, aku rasa, aku pikirkan, dan apa yang kudapakan dari kebersamaanku dengan waktu dan alam semesta. Kebersamaan bersama waktu dan alam semesta akan melahirkan abstraksi. Mungkin engkau akan melukiskan indahnya alam dengan Fisika. Mungkin engkau akan menemukan berharganya aksioma-aksioma Matematika atau menemukan sumber cahaya pencerah kehidupan. Perncerahan yang membimbing manusia dari ketidaksadaran makna hidup. Pencerahan yang akan menolong manusia setelah kematian atas hidupnya. Maka, sampaikanlah, tuturkanlah, tuliskanlah apa yang kau dapat. Aku pun akan menuliskan. Aku menuliskan bukan untuk mengguruimu dan mereka. Namun, aku ingin mendapatkan umpan balik darimu dan mereka setelah kuberbagi. Umpan balik yang akan membawaku pada pengujian kebenaran tentang apa yang aku dapatkan. Karena kita berbeda dan berjarak. Mari kita hasilkan bergerak, karena kita berbeda dan berjarak. Mari kita bergerak untuk mendapatkan kejadian. Tuliskanlah olehmu untukku dan mereka. Aku pun ingin menyampaikan tulisan ini untukmu dan mereka. Karena dengan menulislah, apa yang kita dapatkan dapat kita bagikan. Kita akan berpisah dengan mereka. Kita dan mereka juga akan berpisah dengan waktu dan alam semesta. Namun tidak dengan tulisan kita. Tulisan kita akan mampu menembus batas yang kita mempunyai batasan untuk menembusnya. Tulisan kita akan menembus batas ruang dan waktu. Maka, tuliskanlah olehmu, dan olehku untuk kita dan mereka...


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 25 November 2012 pukul 17:25

Saturday, 24 November 2012

Titen, Manifestasi Kehidupan Masyarakat Jawa yang Saintifik

Pernahkah kamu perhatikan bagaimana seorang supir saat mengendalikan kemudinya? Ataukah kamu pernah mengalaminya sendiri? Peristiwa tersebut menarik untuk diperhatikan. Setidaknya, bagi kita yang sedang berlatih menyetir mobil. Memang benar kata orang, untuk bisa menyetir mobil tidak usah banyak menerima teori. Orang bisa menyetir mobil karena langsung praktek, berlatih menyetir. Meskipun di Amerika Serikat, pernah ada liputan berita seorang anak kecil (umurnya sepuluhan tahun) berhasil mengemudikan mobil orang tuanya. Ia keluarkan mobil dari halaman rumahnya dan menjauh sekitar 500 meter atau lebih dengan selamat. Ia tidak pernah berlatih sebelumnya, hanya mendapatkan informasi bagaimana cara menyetir mobil dari video game yang ia mainkan. Begitulah dunia, yang bagi kita terasa tidak mungkin menjadi mungkin dengan kejadian nyata.

Meskipun, untuk bisa menyetir mobil tidak diperlukan banyak teori, ada sesuatu yang menarik dari aktivitas seseorang mengendalikan kemudi mobilnya. Bagaimana seseorang memutuskan untuk memutar kemudinya pada saat di tikungan? Akan lebih menarik jika mobil yang digunakan mempunyai monyong di bagian depan mobilnya. Sebab, dengan itu jarak antara apa yang terlihat di depan mata seorang pengemudi dengan posisi ban depan mobil akan terlihat lebih jauh daripada jarak tersebut pada mobil yang tidak bermonyong. sehingga, sejatinya pengemudi tidak akan mengetahui secara pasti posisi ban depan sudah berada tepat untuk dibelokkan. Itulah kehebatan seorang pengemudi mobil bermonyong. Perkiraan yang tepat mengantarkan kesuksesannya melewati setiap tikungan jalanan.

Bagaimana cara pengemudi tersebut menjadi hebat? Caranya tidak lain adalah dengan latihan, latihan, dan latihan. Namun, bagaimanakah ia memastikan bahwa yang dilakukan itu benar? Inilah yang akan menjadi pembahasan dalam artikel sederhana ini. Awalnya, saat pertama kali mengemudi ia akan banyak mengambil pelajaran-pelajaran. Pelajaran apa? pelajaran dari aktivitas percobaan mengemudikan stir mobilnya. Pelajaran tersebut dapat berupa seberapa cepat mestinya laju berputarnya stir terhadap laju kendaraaan. Pelajaran lainnya, seberapa cepat laju kendaraan dibandingkan dengan besar sudut tikungan. Atau, dengan menggabungkan ketiganya, sebarapa cepat laju berputarnya stir dibandingkan dengan seberapa besar sudut tikungan dan besarnya laju kendaraan. Itu semua belum lengkap. Kenyataannya, seorang pengemudi juga memperhatikan posisi ban dan ujung depan kendaraan terhadap space yang tersedia di tikungan. Ini akan diperumit lagi dengan bertambahnya variabel lain, saat di tikungan berpapasan dengan kendaraan beroda empat lainnya. Ia tidak hanya memperhatikan posisi ban dan bagian depan kendaraan akan tetapi juga bagaimana posisi ban dan bagian depan kendaraan mempunyai jarak tertentu sehingga tidak akan bersingungan dengan kendaraan yang ditemuinya tadi.

Hal itu terlihat rumit jika diabstraksikan. Seseorang yang sedang berlatih mengemudi tidak perlu mempelajari Fisika agar pelajaran-pelajaran tadi dapat dimodelkan dalam bentuk simbol dan kata. Cukup berlatih, berlatih dan berlatih. Ia akan menangkap dan membandingkan pelajaran-pelajaran tadi untuk dihasilkan kesimpulan subjektif. Kesimpulan subjektif tersebut digunakan dirinya untuk berlatih di waktu berikutnya. Latihan berikutnya akan menghasilkan kesimpulan subjektif lagi. Demikian seterusnya, setiap latihan akan mendapatkan pelajaran dan kesimpulan baru yang digunakan untuk latihan berikutnya. Semakin banyak berlatih semakin dekat kesimpulan subjektif yang dibuatnya tadi dengan kebenaran. Kebenaran akan mendatangkan kesuksesan baginya melawati tikungan dengan laju berputarnya stir, laju kendaraan, besar tikungan, dan space yang tersedia dengan kadar masing-masing. Kata pak Dheku, yang lumayan jago menyetir kendaraan beroda empat, yang seperti itu bagi orang Jawa disebut titen. Titen ini bukanlah ilmu, ia lebih pantas jika disebut dengan metode. Jika dibandingkan metode dunia Ilmu Pengetahuan, titen ini pas jika disandingkan dengan metode ilmiah. Sebab, proses-proses yang berlangsung di metode ilmiah juga ditemukan di titen. Hipotesis, percobaan, dan kesimpulan akhir yang pada metode ilmiah juga terdapat di titen  tersebut.


Selain kesamaan proses, titen juga mempunyai kesamaan fungsi dengan metode ilmiah. Fungsi metode ilmiah yang berupa untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa depan juga diadopsi oleh titen. Dari sinilah, titen digunakan oleh masyarakat Jawa untuk hal-hal lain selain memperkirakan posisi ban dan bagian depan mobil tadi. Jika kamu teliti menyelami kehidupan masyarakat Jawa, akan ditemukan pada mereka aktivitas-aktivitas tertentu yang dilandasi metode ini. Resepsi khitan anak, resepsi nikah, atau membuka toko baru oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap sebagai hari yang penting. Hari penting ialah hari yang tidak biasa dan efeknya berpengaruh dalam kehidupannya. Untuk menyukseskan hari penting tersebut, sebagian masyarakat Jawa mendatangi orang ahli, yang dianggap bisa menentukan kapan jatuh tanggal yang tepat untuk hari penting tersebut. Orang ahli itulah yang menggunakan titen.

Aku masih ingat, cerita tetangga kampungku dulu. Ia mengatakan telah menolak permintaan seorang perempuan yang hendak menyukai anak laki-lakinya. Seorang perempuan tadi ngebeut banget terhadap anak laki-lakinya, sampai-sampai ia datang sendiri menemuinya untuk menyampaikan maksud harapan bisa berlanjut ke jenjang berikutnya. Setelah berkenalan dan mengetahui weton perempuan, ia menolak niat baik perempuan tadi. Tahukah kamu apa argumentasi yang disampaikan ibu laki-laki tadi? Ia menganggap, weton  anaknya dan perempuan tadi jika dipertemukan, akan terjadi marabahaya dalam kehidupan rumah tangganya kelak. Untuk itu, ia menolak permintaan perempuan tadi. Apa yang mendasari argumentasi sang ibu tadi tidak lain ialah pengetahuan-pengetahuan yang masyarakat Jawa ciptakan dari metode titen. Oleh orang ahli, weton yang ada 35 hari banyaknya tadi diteliti. Setiap bayi yang terlahir mempunyai satu weton. Seperti aku misalnya, wetonku ialah Kamis Wage (kalau tidak salah ingat). Weton laki-laki dan perempuan yang sudah berumah tangga dicatat sebagai pasangan weton kemudian di bandingkan bagaimana kehidupan rumah tangganya. Dengan menggunakan matematika sederhana, akan didapati 35x35 = 1225 pasangan weton yang mungkin ada (Banyak banget kan? Jadi bagaimana sang ibu tadi mengambil 1 kemungkinan dari 1225 yang ada). Dari setiap pasangan tersebut akan mempunyai keadaan masing-masing, semisal kehidupan harmonis atau kehidupan penuh marabahaya dalam kehidupan berumah tangga. Kesimpulan ini dihasilkan dari pengamatan terhadap pasangan weton dan dinamika kehidupan rumah tanganya. Kesimpulan ini digunakan untuk menentukan boleh tidaknya, pasangan weton melangsungkan pernikahan menuju kehidupan berumah tangga.

Inilah sekelumit penggunaan titen bagi orang Jawa. Namun, tidak semua masyarakat Jawa menggunakan titen dalam setiap aktivitas perencanaan hidupnya. Bagiku sendiri, titen yang digunakan untuk meneliti pasangan weton dan dinamikanya dalam kehidupan berumah tangga akan tidak tepat. Okelah, titen digunakan untuk berlatih mengemudikan kendaraan beroda empat. Tapi, untuk masalah baik dan buruk apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, tidak akan dipengaruhi oleh weton. Sebab, weton tidak mempunyai kekuatan apapun yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang ataupun pasangan. Sehingga, sang ahli tadi, melakukan suatu kekeliruan dengan menganggap bahwa dinamika yang terjadi pada kehidupan rumah tangga seseorang dipengaruhi rupa pasangan weton. Sebab, pasangan weton tidak mempunyai kekuatan apapun yang dapat mempengaruhi dinamika kehidupan berumah tangga seseorang.


Sudah saatnya, penggunaan titen untuk semua hal ditinjau ulang. Sebagai, seorang yang terdidik, kita hendaknya mampu memilih dan memilah mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, juga mana yang tepat dan yang keliru. Titen memang ampuh digunakan untuk beberapa perencanaan semisal mengemudikan mobil tadi. Namun, tidak semestinya titen digunakan untuk hal-hal yang di antara hal tersebut tidak saling berhubungan. Semoga, sebagai masyarakat Jawa kita dapat menyadari akan hal itu.  




[1] monyong yang dimaksud ialah tonjolan yang terletak di bagian depan mobil sebagai wadah penampung mesin mobil
[2] weton berasal dari kata wetu dan imbuhan –an, wetuan. Wetu berasal dari kata metu yang berarti keluar atau lahir. Weton bermakna, waktu lahir seseorang. Selain hari yang berupa Senin-Ahad, masyarakat Jawa juga mengenal pasaran yang ada lima, Manis, Pon, Wage, Kliwon (dan satu lagi lupa J ). Antara hari dan pasaran berpasangan satu-satu. Sehingga akan didapati 35 pasangan untuk satu periode. Misalnya, Jumat Kliwon.


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 25 November 2012

Thursday, 22 November 2012

Merasionalisasi Perasaan

Setelah definisi berpikir dan masyarakat, hal penting lain bagiku ialah perasaan. Orang Jawa bilang "jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa". Biasanya, orang Jawa menyimpan filosofi tertentu dalam setiap paribasan yang diucapkannya. Tertentu karena ia menyimpan ajakan untuk melakukan perbuatan tertentu. Seperti paribasan tadi. Itu mengandung ajakan agar seseorang memiliki kepekaan merasa. Bukan kepekaan merasa bisa melainkan bisa merasa. Tentu filosofi tersebut tidak hanya sampai di situ. Antara seseorang dan dunia luar akan terhubung. Bagi orang Jawa, penghubung tersebut ialah kemampuannya untuk merasakan apa yang dirasakan oleh dunia luar. Dunia luar di sini maksudnya ialah apa-apa yang ada di luar dirinya.

Ajaran tersebut sebenarnya mirip dengan konsep empati dalam ilmu Sosiologi. Setidaknya aku akan mengajak kawan sekalian untuk mengingat kembali pelajaran kelas 1 SMA. Empati lebih tinggi tingkatannya daripada simpati. Simpati merupakan keikutsertaan raga dan pikiran kita pada dunia luar sehingga kita dapat memiliki perasaan dan pemikiran yang sama dengannya. Dunia luar di sini akan dispesifikasi menjadi masyarakat atau seseorang. Sedangkan empati tidak. Tidak dalam artian, kita tidak perlu mengikutsertakan raga kita pada masyarakat atau seseorang. Tetapi, dengan itu kita bisa merasakan apa yang dirasakan seseorang, atau apa yang pikirkannya. Sehingga, dengan empatilah, seakan-akan pikiran dan hati kita langsung terhubung dengan seseorang. Tidak ada lagi beda potensial di antara keduanya. Oleh karenanya Sosiolog menempatkan empati lebih tinggi satu tingkat dibanding dengan simpati. Demikianlah aku menafsirkan paribasan tadi. Bahwa maksud dari bisa merasa ialah berempati.

Aku juga masih ingat kelanjutan pelajaran Sosiologi tadi, bahwa orang yang memiliki empati terbaik ialah ibu. Seorang ibu mempunyai empati yang tinggi terhadap anaknya. Lihat saja, ketika seorang anak mengalami sesuatu, misalnya berupa kesedihan seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau kegembiraan berupa prestasi yang diraih seorang anak. Ibulah yang paling larut dalam kesedihan atau kegembiraan yang mendalam. Seakan, hati dan pikiran anak adalah bagian darinya seutuhnya.

Mengapa orang Jawa mengajarkan untuk berempati? Ini karena perasaan bagi mereka adalah penting. Menjaga, memelihara, dan menumbuhkembangkan persaan baik terhadap sesama manusia adalah hal yang penting. Kenapa? karena dengan perasaanlah hubungan diantara sesama akan terjaga. Itulah mengapa, setelah definisi berpikir dan masyarakat, pembahasan mengenai perasaan menjadi penting, bagiku.

Perasaan yang sama diantara sesama manusia menjadi penting karena dengan itulah hubungan di antara sesama akan terjaga. Namun hal ini tidak bisa ditarik kepada pemikiran. Pemikiran yang berbeda tidak semestinya memecah hubungan di antara sesama manusia. Sebab, pemikiran ialah strata paling rendah dalam pembentukan karakter seorang manusia. Mengapa? karena pemikiran manusia letaknya paling dekat dengan fakta. Pemikiran ialah status atas fakta. Harap dimaklumi bahwa dengan tingkatan strata tersebut, pemikiran manusia gampang berubah. Kita pun gampang untuk berbeda pemikiran.  Oleh karenanya pemikiran tidak lebih melekat erat dalam karakter manusia dibandingkan dengan perasaan.

Tingkatan yang lebih tinggi dari pemikiran ialah persepsi. Persepsi seseorang terbentuk melalui akumulasi pemikiran. Baik akumulasi yang berupa pemikiran satu dan pemikiran dua  yang saling mendukung ataupun pemikiran satu yang berulang kali teruji kebenarannya. Dengan tingkatannya yang lebih tinggi, persepsi membawa konsekuensi berupa lebih susah diubah daripada pemikiran. Dalam ranah tindakan, persepsi akan mengimbangi praksis berupa kebiasaan ataupun refleks. Maksud dari mengimbangi ialah persepsi akan mendrive kebiasan-kebiasaan seseorang. Praksis di sini maksudnya ialah tindakan dasar seorang manusia. 

Sejalan dengan persepsi, kebiasaan seseorang akan lebih susah diubah daripada tindakan baru. Tindakan baru ialah tindakan yang didrive oleh pemikirannya. Karena memang, pemikiran seseorang akan mengimbangi tindakan baru. Contohnya ialah orang yang melakukan aksi tertentu setelah menerima provokasi dari seorang provokator. Aksi tersebut ialah tindakan baru baginya. Sedangkan provokasi ialah pemikiran yang baru baginya.Untuk itu, aksi-aksi di lapangan semisal demonstrasi akan mudah diarahkan setelah seseorang menerima provokasi.

Tingkatan berikutnya setelah persepsi ialah perasaan. Perasaan terbentuk melalui akumulasi persepsi. Sehingga, perasaan letaknya semakin jauh dengan fakta. Orang yang hanya berbekal satu pemikiran akan susah mengubah perasaan seseorang. Sebab, perasaan lebih melekat pada karakter seorang manusia dibandingkan dengan persepsi atau hanya pemikiran. Di sinilah letak kehebatan seorang ibu. Dengan empatinya yang tajam, seorang ibu akan mengubah perasaannya seiring berubahnya fakta secara cepat dan cenderung tepat. Fakta tersebut misalnya sebagaimana yang disebutkan tadi, anaknya yang mengalami kecelakaan bermotor atau pun meraih prestasi gemilang di sekolahnya. Hadirnya fakta tersebut berarti berubahnya fakta atas anaknya. Seorang ibu akan larut dalam pikiran dan perasaan anaknya sesaat setelah perubahan fakta tersebut terjadi. Jadi, empati merupakan manifestasi kecerdasan berpikir seseorang. Sehingga, ada baiknya juga tetuah Jawa mengajarkan paribasan tadi. Bahwa sejatinya kita dituntut untuk cerdas dan berpikir cepat dan tepat sehingga, tidak ada lagi beda potensial di dalam hati dan pikiran di antara sesama manusia.

Namun, yang perlu dicatat, perasaan dengan tingkatan tertingginya tidak dapat dijadikan pembenaran. Artinya, untuk menguji kebenaran sesuatu tidak boleh dengan perasaan. Untuk masalah ini, serahkan saja pada akal. Akallah yang akan menghasilkan pemikiran dan dengan itu pula kebenaran pemikiran dapat diuji. Ini bukan berarti gagah-gagahan akal atau pemikiran atas perasaan. Tetapi, memang di dalam akallah, terkadung khasiat mengaitkan fakta dengan informasi sebelumnya yang ada pada benak manusia. Perasaan, sudah berperan baik untuk menjaga hubungan sesama manusia meskipun di antaranya memiliki perbedaan pemikiran. Jadi, rasionalisasi perasaan menempatkan perasaan pada strata terdekat dengan karakter seorang manusia namun itu tidak bisa diberdayakan untuk menggantikan akal. Dan akal yang termanifestasi dalam pemikiran akan menempati strata terendah yang berarti paling dekat dengan fakta namun mempunyai daya untuk mengendalikan perasaan.


Tommy Aji Nugroho
23 November 2012

Tuesday, 20 November 2012

Alam dan Sunatullah

Aku merasa beruntung mendapat kesempatan itu. Pagi, Jumat 16 November 2012 jam 10:15 tepatnya, aku diajak ust. Budi Harsanto, dosen Ekonomi UNPAD yang juga aktivis HTI di Bandung dan ust. M. Riyan dosen UIN Gunung Djati yang juga aktivis HTI Jabar untuk bersilah ukhuwah kepada bapak Prof. DR. Dedi Mulyasana M.Pd. yang merupakan mantan rektor Universitas Islam Nusantara, Bandung. Kepakaran beliau ialah Manajemen Pendidikan Islam.

Kami ditemani oleh bapak Imansyah, syabab setempat yang sudah kenal sebelumnya dengan Prof. Dedi. Setelah mencari-cari alamatnya dan ketemu, kami masuk ke rumahnya. Di sana kami langsung disambut oleh Prof. Dedi (alhamdulillah..). Kami membuka perbincangan, setelah proses ramah tamah selesai. Hampir semua orang yang ada di ruangan itu Nyunda sehingga bahasa yang kami gunakan saat itu adalalah bahasa Sunda. Untunglah aku dapat mengerti maksudnya, meski belum tentu bisa jika disuruh menyampaikan ulang pembicaraan mereka.

Setidaknya ada tiga poin yang disampaikan Prof. Dedi kepada kami. Namun, hanya point ketiga yang akan aku tuliskan di artikel ini. Sesuai kepakarannya, Beliau menyoroti masalah pendidikan. Pendidikan sekarang belum bisa dikatakan pendidikan yang berbasis pada Islam. Bahkan, menurut Beliau yang ada sekarang adalah pengajaran bukan pendidikan. Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Anak didik memang diajarkan bagaimana Newton menjelaskan mengapa apel jatuh ke bumi. Mendidihnya air pada suhu 100ºC juga diajarkan pada mereka. Akan tetapi Sunatullah yang ada pada pelajaran-pelajaran tersebut tidak disampaikan. Sehingga, pengajaran hanya berwujud berpindahnya pengetahuan tanpa dibarengi peguatan penghambaan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala melalui bentuk kekuasaanNya.

Tentang alam dan Sunatullah, aku jadi inget buku dengan cover warna abu-abu karangan Ghanim Abduh. Bukunya unik, gak ada judul pada setiap babnya. Tapi masih bersahabat, Beliau mencantumkan "Kritik atas Sosialisme dan Marxisme" sebagai judul bukunya :).

Dalam bab Pertama yang oleh Beliau cukup dinamai dengan wacana Pertama, Beliau menawarkan satu dua preposisi untuk menguji kebenaran pandangan Materialisme Dialektis. Engels (Friedrich, 1820-1895), berkata :
     Konsepsi Materialisme dengan sangat simpel berarti memahami alam seperti apa adanya, tanpa

     tambahan-tambahan eksternal apapun.

Lenin (Vladimir Illich, 1870-1924), telah menulis konsepsi Materialisme menurut filsuf Klasik, Heraclitus (540?-480? bc), yang menyatakan :

     Alam adalah ujud tunggal, yang tdai pernah diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia 
     telah ada, selalu dan akan ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya, yang menyala dan 
     meredup mengikuti hukum tertentu. [1]

Itulah konsep Materialisme Dialektis menurut para pemikirnya. Alam dengan wujudnya tidak pernah membutuhkan sesuatu dari selainnya. Alam tidak membutuhkan Akal Holistik apapun. Bertolak dari konsepsi tersebut, Ghanim Abduh memaparkan apa-apa tentang alam itu sendiri. Maksudnya ialah untuk menguji kebenaran konsepsi tersebut. Termasuk dalam alam ialah apa-apa yang bisa kita indera. Air, pisau, planet, api, juga buah apel adalah bagian dari alam. Berpijak pada konsepsi Materialisme Dialektis, hidrogen, oksigen, air, pisau, planet, api, dan buah apel akan ada dengan sendirinya tanpa memerlukan yang lain. Tidak ada andil Akal Holistik pada mereka semua. Sebab, mereka semua adalah bagian dari alam. Mereka semua adalah alam itu sendiri.

Api bisa membakar benda-benda. Karena khasiat dari api adalah membakar benda. Akan tetapi khasiat membakarnya api hanya bisa ditujukan pada benda-benda yang berpotensi terbakar. Benda-benda yang tidak berpotensi terbakar tidak bisa dibakar oleh api walaupun api mempunyai khasiat membakar. Kesimpulannya, api membutuhkan benda lain dengan syarat tertentu, yaitu berpotensi terbakar. Api membutuhkan benda lain.

Pisau yang tajam mempunyai khasiat membelah benda-benda. Akan tetapi pisau sekalipun tajam tidak bisa membelah besi. Yang dari sini lahirlah gergaji. Pisau hanya bisa membelah benda-benda yang berpotensi terbelah. Sehingga, pisau membutuhkan benda-benda lain agar khasiatnya dapat berfungsi sekalipun khasiat membelah itu ada pada diri pisau. Oleh karenanya, pisau membutuhkan benda lain, dengan kriteria tertentu. Begitu pula dengan air. Air dapat berubah menjadi uap. Untuk bisa berubah menjadi uap, air membutuhkan sesuatu yang bukan air dengan kadar tertentu. Air membutuhkan kalor dengan kadar tertentu sehingga akan menjadi uap pada kondisi tertentu, yaitu suhu
100ºC. Seperti api dan pisau, air membutuhkan yang lain.

Gerak planet ada pada garis edarnya. Pertanyaannya, garis edar planet tersebut merupakan apa yang ada pada plenet itu sendiri, khasiat yang dimilikinya atau sesuatu yang lain? Selain dari ketiga tersebut tidak ada lagi kemungkinan. Kemungkinan pertama, planet bergerak sesuai dengan garis edarnya. Sedangkan garis edar tidak bergerak sebagaimana planet bergerak. Sehingga kemungkinan pertama tertolak. Sebab, gerak planet pada garis edarnya tidak diikuti dengan gerak garis edar bersama dengan planet. Kemungkinan kedua ialah garis edar ialah khasiat yang dimiliki planet. Kemungkinan ini juga tertolak karena planet lain juga bergerak pada garis edarnya. Dalam artian, planet lain juga bergerak  pada garis edarnya. Sehingga garis edar planet merupakan sesuatu yang lain dari planet tersebut. Jadi sebuah planet memerlukan sesuatu yang lain selain dirinya.

Api, pisau, air dan planet adalah alam itu sendiri. Mereka membutuhkan sesuatu selain dirinya. Sesuatu yang membutuhkan sesuatu yang lain disebut dengan makhluk. Karena makhluk tidak bisa menjadikan yang tidak ada menjadi ada. Makhluk membutuhkan Sang Pencipta (khaliq). Karena
makhluk tidak dapat melahirkan dirinya dengan sendirinya. Ia, tidak mempunyai kemampuan untuk menjadikan dirinya yang tidak ada menjadi ada. Sebaliknya, Sang Pencipta tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Sifat tidak membutuhkan sesuatu yang lain adalah keharusan bagiNya. Sebab, ia adalah Sang Pencipta bukan makhluk. Sang Pencipta tidak bersandar pada sesuatu yang lain, sebagaimana makhluk yang harus bersandar pada sesuatu yang lain.

Jatuhnya apel dari pohonnya dengan mengikuti arah gaya gravitasi bumi adalah bentuk Sunatullah. Apel, bumi, dan gaya gravitasi adalah sesuatu yang membutuhkan sesuatu yang lain. Mereka bersandar pada suatu kekuasaan sehingga mereka bisa saling terkait. Demikian juga dengan mendidihnya air pada suhu
100ºC. Air, kalor, dan suhu 100ºC adalah sesuatu yang membutuhkan sesuatu yang lain. Mereka juga bersandar pada suatu kekuasaaan sehingga mereka bisa saling terkait. Kekuasaan tersebut adalah kekuasaanNya. Sunatulllah berarti, hadirnya kekuasaanNya pada benda-benda tadi sehingga mereka dapat berubah dari satu kondisi ke kondisi tertentu dengan syarat yang juga tertentu. Dari kunjungan ke prof. Dedi tersebut, aku diingatkan untuk selalu ingat pada Allah. Bahwa kekuasanNya yang terbentang luas hingga menembus batas pengalaman manusia, ialah bentuk kasih dan sayangNya yang dianugerahkan pada kita agar selalu ingat kepadaNya.

 

 Sumber : buku Kritis atas Sosialisme Marxisme, Ghanim Abduh

Tommy Aji Nugroho
Bandung, 20 November 2012 pukul 18:25 WIB