Pagi tadi aku menerima sebuah sms, "Aslm, kang, antum punya definisi tentang
'masalah'
gak?". Aku kira ada buku baru yang mengupas tentang
definisi masalah. Setelah sms kedua dia memperjelas bahwa dia sedang menanyakan
apakah definisi masalah aku punyai. Aku meninggalkan jawaban sekenanya sambil
jalan keluar kost an, "tunggu satu setengah jam lagi, aku akan coba
jawab". Aku beli nasi uduk di warung dekat kost an. Berjalan sambil
menikmati kontemplasi topik yang dipertanyakan. hehehe
Lebih dari setahun yang lalu aku juga pernah memikirkan itu. Namun tidak
sempat aku tuliskan. Karena memang belum 'lengkap', juga belum terpikirkan
untuk menuliskannya. Aku menambahkan tanda kutip pada term lengkap, karena itu
relatif. Kontemplasiku relatif belum lengkap waktu itu. Namun bukan berarti,
kontemplasiku sekarang sudah lengkap. Lagi-lagi itu hanyalah relatif.
Nampaknya, sms temenku tadi memicuku untuk kembali berkontemplasi. “Terima
kasih teman sudah mengingatkan” (ucapku di dalam hati). Aku pikir melanjutkan
kontemplasi ini baik untukku. Mengapa? tahukah kamu? Bahwa ternyata,
mendefinisikan masalah berguna untuk dakwah kita. Tidak percaya? Mari kita coba
buktikan, bismillah.
Menulusuri definisi masalah bukan tanpa masalah. Namun, justru dengan adanya
masalah itulah kita sedang dihadapkan langsung pada objek penelusuran. Akan
tetapi, kali ini, masalah tersebut tidak akan kujadikan objek penelusuran di
sini. Aku akan menggunakan objek lain. Di sini aku menggunakan keumuman orang
yang sedang menghadapi masalah. Bagi dirinya itu adalah masalah, sedangkan bagi
orang lain itu tidak jadi masalah. Banyak fakta yang kita temukan demikian. Ada
seseorang yang menganggap penghasilannya yang tidak naik-naik sebagai masalah.
Hingga ia menyimpang dari tuntunan agamanya. Ia akan korupsi untuk meningkatkan
penghasilannya. Atau ia akan ke dukun untuk meminta
pesugihan. Masalah
baginya ialah tidak naiknya penghasilan yang didapat. Sedangkan bagi orang
lain, itu tidak menjadi masalah. Ada orang lain selain dirinya yang menganggap
bahwa tidak naiknya penghasilan tidak jadi masalah. Kita tarik kesimpulan dari sini
bahwa masalah terletak pada seseorang. Masalah terletak pada benak
seseorang.
Jadi, sebenarnya, masalah itu berupa informasi. Karena ia tersimpan di dalam
benak seseorang. Masalah akan tersimpan di dalam benak seseorang hingga pemicu
timbulnya masalah tersebut hilang dalam benaknya. Ya, masalah seseorang mempunyai
pemicunya. Mulanya ia akan menyerap fakta, kemudian masalah itu timbul. Hanya
itu? Tentunya tidak. Spesifikasi fakta tentu berlaku untuk hal ini.
Yang menjadi masalah bukan hanya fakta yang terserap tadi. Melainkan juga
bagaimana penyerapan
fakta tadi
dihubungkan dengan persepsi atau pemikirannya. Jadi, yang menentukan fakta yang
terserapnya itu memicu masalah atau tidak adalah persepsi atau pemikirannya.
Persepsi atau pemikiran dan fakta yang terserap memicu timbulnya masalah di dalam benak seseorang. Namun, keduanya tidak akan memicu kecuali keduanya berbeda. Persepsi atau pemikiran sejatinya mengandung gambaran fakta. Sebab, pemikiran ialah status atas fakta. Sedangkan persepsi itu akumulasi pemikiran-pemikiran teradopsi yang saling membangun. Perbedaan fakta yang dikandung persepsi atau pemikiran dengan fakta yang terserap tadilah yang menjadikan masalah itu ada. Artinya, masalah tidak akan timbul saat gambaran fakta di antara keduanya sama. Orang yang mempunyai persepsi bahwa tampilnya Lady Gaga di atas panggung adalah baik tentunya tidak akan timbul pada benaknya suatu masalah jika Lady Gaga jadi manggung di Indonesia. Karena gambaran fakta yang ada di persepsinya sama dengan fakta yang terserap.
Persepsi atau pemikiran akan diadopsi seseorang jika itu baik dan benar baginya. Sebagaimana dalam artikelku sebelumnya,
Mengapa Berpikiran Terbuka? Sejatinya kejernihan dan kemurnian akal dan seseorang condong pada kebenaran dan kebaikan. Meskipun, tidak selamanya proses berpikir seseorang mengantarkan pada kebenaran. Gambaran fakta yang bagi seseorang baik dan benarlah yang mengendalikan perumusan masalah atas fakta yang terserap. Sehingga masalah yang timbul di benak seseorang adalah manifestasi gangguan akan kebaikan dan kebenaran yang diadopsinya selama ini. Sampai di sini kita telah membahas masalah yang ada di dalam benak seseorang. Sedangkan masalah lain terletak pada domain ruang. Masalah tersebut terletak di lapangan.
Namun, tidak timbulnya masalah di dalam benak seseorang bukan berarti tidak ada masalah di lapangan. Karena boleh jadi ia tidak menyerap fakta yang ada di lapangan. Pada artikelku sebelumnya,
Kontemplasi Kata Ada aku menyebutkan adanya fakta tidak bergantung indera manusia. Sebab, fungsi indera ialah menemukan fakta bukan menciptakannya. Juga, boleh jadi ia belum mengadopsi persepsi atau pemikiran yang di dalamnya terkandung fakta yang berbeda dengan fakta yang terserap.
"Jadi, adanya masalah di lapangan sangat bergantung dari persepsi manusia tentang baik dan buruk?" Temenku melanjutkan sms, setelah aku sampaikan poin-poin uraian di atas. Aku menjawab sekenanya, "Bukan, masalah di lapangan bergantung pada seberapa persen tidak terimplementasikannya persepsi baik dan benar seseorang di lapangan. Makna imbuhan ter- pada kata implementasi bermakna ketidaksengajaan (ingat kembali pelajaran bahasa Indonesia SMP)." Aku menggunakan makna tidak sengaja karena masalah yang ada di lapangan terkadang ditimbulkan oleh akumulasi perbuatan banyak orang. Sehingga, bisa saja masalah timbul tanpa campur tangan seseorang yang mempunyai persepsi baik dan benar tadi. Karena masalah ditimbulkan oleh banyak orang lain. Tidak terimplementasi berarti tidak ada implementasi karena pengaruh banyak orang lain. Sejatinya, apa yang terbentuk di lapangan akan lebih rumit daripada pembentukan persepsi seseorang. Sebab, itu tidak hanya menyangkut masalah persepsi seseorang melainkan menyangkut persepsi masyarakat, pemegang kekuasaan, dan sistem yang diterapkan. Jadi, masalah di lapangan tidak bergantung pada persepsi baik dan buruk seseorang.
Dari sinilah an-Nabhani menawarkan gagasan berupa dakwah masyarakat. Setelah melewati tahapan pembinaan individu, Beliau mengkodifikasi dakwah Rasulullah sebagai dakwah kepada masyarakat. Oleh karenanya, beliau juga mendefinisikan apa itu masyarakat. Sebab, sekuat-kuatnya persepsi baik (tentang Islam) terbentuk pada individu-individu tidak akan menghasilkan perubahan atas fakta di lapangan. Perubahan yang berupa hilangnya masalah di lapangan dilakukan secara bersama-sama. An-Nabhani memulai itu semua dengan mengubah persepsi seseorang tentang fakta.
Perubahan persepsi akan mendorong seseorang untuk mengajak yang lainnya untuk bersama-sama mengubah fakta yang ada. Perubahan persepsi akan menghasilkan masalah di benaknya. Timbunya masalah tersebut mendorong seseorang untuk mengubah fakta bersama orang lain. Persepsi atau pemikiran yang tidak sampai menimbulkan masalah di benaknya, tidak akan mendorong seseorang untuk mengubah fakta. Sebab, baginya tidak ada perbedaan antara fakta yang terserap dengan yang dikandung persepsi. Fisika juga mengajarkan demikian. Gerak suatu benda terjadi karena adanya perbedaan. Gerak elektron, jatuhnya buah apel, atau tereksitasinya atom terjadi karena adanya perbedaan. Jadi perbedaan fakta yang terkandung didalam persepsi akan mendorong seseorang mengubah fakta yang ada di lapangan.
Inilah filosofi dakwah an-Nabhani. Beliau mendorong seorang kader dakwah untuk menghancurkan sehancur-hancurnya persepsi apapun yang bertentangan dengan Islam. Hingga persepsi tersebut tidak lagi digunakan oleh seorang muslim. Beliau tidak mengambil jalan tengah, dengan cara mengkompromikan apa yang haq (Islam) dengan yang bathil (
ghair Islam). Beliau juga tidak mengambil maslahat dengan jalan mencampurkan yang haq dan yang bathil. Sebab, masih digunakannya, persepsi
ghair Islam akan memperlambat proses perubahan. Ia akan menghambat seseorang untuk cenderung kepada perubahan. Baru setelah dihancurkan sehancur-hancurnya, Beliau mengajak umat Islam untuk membangun persepsi Islam seutuhnya dan seluruhnya. Oleh teman-teman HATI (sebuah unit kajian Islam ideologis yang bergerak di ITB) cita rasa dakwah an-Nabhani seperti ini dinamakan dengan Dekonstruksi dan Rekonstruksi, yaitu menghancurkan dan membangunnya kembali. Kesimpulannya, menelusuri definisi masalah, akan terkait erat dengan dakwah Islam.
Tommy Aji Nugroho
Bandung, 27 November 21:08