Sunday 25 November 2012

Mengapa Berpikiran Terbuka?

Pada artikel sebelumnya, Tuliskanlah dasar argumen untuk menulis telah dipaparkan. Kita yang kecil menempati alam semesta yang terbentang luas. Implikasinya, jangkauan inderawi kita terbatas pada apa-apa yang pernah kita temui. Apa yang tidak pernah kita temui, berarti bukan jangkauan inderawi kita. Hasilnya ialah di antara kita akan berjarak. Jarak artinya adanya dua titik yang terpisah yang dihubungkan dengan satu garis imajiner, garis lurus. Aku di titik ini menemui bagian alam semesta yang seperti ini dan engkau di sana menemukan bagian alam semesta yang seperti itu. Kita berjarak.

Selain itu, kadar inderawi untuk meresapi, kadar akal untuk memikirkan, sensitifitas hati untuk merasa, dan kadar jiwa untuk menghayati alam semesta kita juga berbeda. Walaupun fakta yang kita indera sama, informasi sebelumnya juga sama, perangsang sensitifitas hati yang sama, dan dinamika alam semesta yang kita hayati sama, tidak dengan hasil. Hasil yang berupa penyerapan fakta, pemikiran, sensitifitas hati merasa, dan dinamika jiwa menghayati tetap akan berbeda dengan kadar masing-masing yang berbeda di antara kita. Kita memang berbeda.

Menuturkan, menyampaikan, dan menuliskan merupakan cara orang menanggapi kehadirannya yang berjarak dan kenyataannya yang berbeda. Antara satu orang dengan orang yang lainnya berjarak dan berbeda. Namun, dengan menulislah, apa yang menjadi makna di dalamnya dapat diteruskan ke berbagai penjuru alam semesta. Juga melintasi sepanjang panah waktu bergerak. Menulis mempertahankan keawetan makna yang dikandung di dalam tulisan. Menulis juga mendekatkan makna dengan keabadian. Meskipun hanya berupaya untuk dekat kepadanya, bukan menciptakan keabadian itu sendiri. Kita akan berhadapan dengan keterbatasan diri untuk menciptakan keabadian. Apa yang kita kuasai sebatas terhubungnya kita dengan alam semesta. Juga waktu yang bersinggungan dengan umur kita. Selebihnya kita benar-benar makhluk lemah yang tidak berdaya apa-apa atas apa yang terjadi. Menulis ialah mendekatkan makna yang dikandung dalam tulisan pada keabadian.

Ada banyak hal yang menguraikan mengapa kita lemah. Kita yang berjarak dan berbeda adalah manifetasi kelemahan kita. Kita berjarak artinya, jangkauan inderawi kita berbeda. Apa yang aku jangkau dan apa yang engkau jangkau tidaklah sama. Karena, kita berjarak berarti apa yang kita temukan akan berbeda. Kita berbeda artinya, kadar-kadar yang ada pada organ-organ hidup kita sehingga kita meresapi, memikirkan, merasakan, dan menghayati alam semesta ini juga berbeda. Berbeda berarti, kadar-kadar yang kita punyai dibandingkan kadar-kadar yang dipunyai orang lain akan menghasilkan tingkatan jika dijejerkan di kedudukan yang sama. 7, 8 berbeda dengan 9. 7,8 dan 9 jika dijejerkan akan bertingkat berupa 7,8,9. Kita lemah.

Manusia dengan kejernihan dan kemurnian akalnya cenderung pada kebenaran. Apa yang benar lebih disukainya daripada yang salah. Manusia selalu mencari kebenaran. Namun, manusia seutuhnya berbeda dengan kejernihan dan kemurnian akalnya. Manusia seutuhnya dilihat dengan karakternya. Karakter manusia satu dengan yang lainnya tentu akan berbeda. Namun kecenderungan setiap manusia dari kejernihan dan kemurnian akalnya akan tetap sama. Mereka cenderung pada kebenaran. Karakter manusia berpotensi menodai kejernihan dan kemurnian akalnya. Sebab, karakter manusia dibangun dari persepsi-persepsinya yang tentang sesuatu. Persepsi dibangun dari pemikiran-pemikiran. Sedangkan pemikiran bergantung pada informasi sebelumnya. Mengenai hal itu aku menuliskannya di sini Merasionalisasi Perasaan. Adapun, informasi sebelumnya yang diterima satu orang dan yang lainnya tidak tentu sama. Sehingga, karakter berpotensi menodai kemurnian dan kejernihan akalya. Tidak jarang akan kita temui, dalam diskusi-diskusi akal manusia yang sudah tersandra oleh karakternya akan susah mengakui kebenaran baru. Ego dan tendensinya mendominasi jalannya diskusi.

Jika mau kembali pada kejernihan dan kemurnian akal, kita sepakat pentingnya kebenaran daripada bertahannya ego dan tendensi diri. Bahkan, dengan cara itulah karakter kita akan teruji. Kalau kita bilang sesuatu itu benar namun belum teruji, itu lemah. Kekuatan akan dibangun dengan kesediaan kita menjalami ujian-ujian. Pemikiran, persepsi, dan karakter kita perlu diuji. Mereka mempunyai ujiannya masing-masing. Pengujian pemikiran berupa dibandingkannya pemikiran itu dengan pemikiran lain. Atau bisa juga dengan mempertanyakan kebenaran pemikiran itu sendiri. Caranya dengan menghadirkan objek-objek lain yang terhimpun dalam objek yang dihukumi. Maksudnya? masih ingat kan pelajaran bahasa Indonesia SMA tentang hiponim dan hipernim? Ya, seperti itu, objek yang kita pikirkan juga ada yang bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum.

Namun, dengan itu bukan berarti kita tidak membutuhkan karakter. Karakter tetap kita butuhkan kehadirannnya untuk menangkap dan menjelaskan bagaimana suatu objek dan kejadian tersebut akan saling terkait. Yang semestinya dihindari ialah menodai kejernihan dan kemurnian akal manusia dengan karakternya sehingga pintu penerimaan terhadap kebenaran akan tertutup. Jadi, kita perlu membuka diri yang diawali dari pikiran kita. Bahwa kita harus berpikiran terbuka.

Berpikiran terbuka bukanlah sesuatu yang buruk. Memang, dengan berpikiran terbuka akan ada kemungkinan kita menghapus pemikiran lama dan mengadopsi pemikiran baru kita. Mungkin juga kita akan menghapus pemikiran baru kita tadi dengan pemikiran yang lebih baru lagi. Namun, yang perlu diingat bahwa baik dan buruk pemikiran bukan terletak pada seberapa kuat dipertahankannya pemikiran oleh seseorang. Sebab, seseorang bisa saja mempertahankan pemikirannya dengan egonya bukan karena pemikiran tersebut kuat dan benar. Baik dan buruk pemikiran seseorang bergantung pada seberapa kuat dan benarnya pemikiran tersebut. Sehingga, intervensi subjektif seseorang atas baik dan buruknya pemikiran dapat dilepaskan. Benar artinya, pemikiran tersebut sesuai dengan fakta. Kuat berarti, mampu mempertahankan pemikiran tersebut atas fakta.

Jadi, berpikiran terbuka tidak mengantarkan pada keburukan. Yang mengantarkan pada keburukan ialah menolak kebenaran. Juga mempertahankan pemikiran yang sudah terbukti kesalahannya. Jadi, mengapa berpikiran terbuka? Sebab, dengan itulah kebenaran akan didapat dan pemikiran yang diadopsi akan semakin kuat setelah melewati masa pengujian. Dengan berpikiran terbuka kita mengakui diri ini lemah dan cahaya kebenaran bisa datang dari mana saja. Karena kita memang berjarak dan berbeda.


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 26 November 2012, pukul 11:30

No comments:

Post a Comment