Tuesday 20 November 2012

Alam dan Sunatullah

Aku merasa beruntung mendapat kesempatan itu. Pagi, Jumat 16 November 2012 jam 10:15 tepatnya, aku diajak ust. Budi Harsanto, dosen Ekonomi UNPAD yang juga aktivis HTI di Bandung dan ust. M. Riyan dosen UIN Gunung Djati yang juga aktivis HTI Jabar untuk bersilah ukhuwah kepada bapak Prof. DR. Dedi Mulyasana M.Pd. yang merupakan mantan rektor Universitas Islam Nusantara, Bandung. Kepakaran beliau ialah Manajemen Pendidikan Islam.

Kami ditemani oleh bapak Imansyah, syabab setempat yang sudah kenal sebelumnya dengan Prof. Dedi. Setelah mencari-cari alamatnya dan ketemu, kami masuk ke rumahnya. Di sana kami langsung disambut oleh Prof. Dedi (alhamdulillah..). Kami membuka perbincangan, setelah proses ramah tamah selesai. Hampir semua orang yang ada di ruangan itu Nyunda sehingga bahasa yang kami gunakan saat itu adalalah bahasa Sunda. Untunglah aku dapat mengerti maksudnya, meski belum tentu bisa jika disuruh menyampaikan ulang pembicaraan mereka.

Setidaknya ada tiga poin yang disampaikan Prof. Dedi kepada kami. Namun, hanya point ketiga yang akan aku tuliskan di artikel ini. Sesuai kepakarannya, Beliau menyoroti masalah pendidikan. Pendidikan sekarang belum bisa dikatakan pendidikan yang berbasis pada Islam. Bahkan, menurut Beliau yang ada sekarang adalah pengajaran bukan pendidikan. Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Anak didik memang diajarkan bagaimana Newton menjelaskan mengapa apel jatuh ke bumi. Mendidihnya air pada suhu 100ºC juga diajarkan pada mereka. Akan tetapi Sunatullah yang ada pada pelajaran-pelajaran tersebut tidak disampaikan. Sehingga, pengajaran hanya berwujud berpindahnya pengetahuan tanpa dibarengi peguatan penghambaan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala melalui bentuk kekuasaanNya.

Tentang alam dan Sunatullah, aku jadi inget buku dengan cover warna abu-abu karangan Ghanim Abduh. Bukunya unik, gak ada judul pada setiap babnya. Tapi masih bersahabat, Beliau mencantumkan "Kritik atas Sosialisme dan Marxisme" sebagai judul bukunya :).

Dalam bab Pertama yang oleh Beliau cukup dinamai dengan wacana Pertama, Beliau menawarkan satu dua preposisi untuk menguji kebenaran pandangan Materialisme Dialektis. Engels (Friedrich, 1820-1895), berkata :
     Konsepsi Materialisme dengan sangat simpel berarti memahami alam seperti apa adanya, tanpa

     tambahan-tambahan eksternal apapun.

Lenin (Vladimir Illich, 1870-1924), telah menulis konsepsi Materialisme menurut filsuf Klasik, Heraclitus (540?-480? bc), yang menyatakan :

     Alam adalah ujud tunggal, yang tdai pernah diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia 
     telah ada, selalu dan akan ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya, yang menyala dan 
     meredup mengikuti hukum tertentu. [1]

Itulah konsep Materialisme Dialektis menurut para pemikirnya. Alam dengan wujudnya tidak pernah membutuhkan sesuatu dari selainnya. Alam tidak membutuhkan Akal Holistik apapun. Bertolak dari konsepsi tersebut, Ghanim Abduh memaparkan apa-apa tentang alam itu sendiri. Maksudnya ialah untuk menguji kebenaran konsepsi tersebut. Termasuk dalam alam ialah apa-apa yang bisa kita indera. Air, pisau, planet, api, juga buah apel adalah bagian dari alam. Berpijak pada konsepsi Materialisme Dialektis, hidrogen, oksigen, air, pisau, planet, api, dan buah apel akan ada dengan sendirinya tanpa memerlukan yang lain. Tidak ada andil Akal Holistik pada mereka semua. Sebab, mereka semua adalah bagian dari alam. Mereka semua adalah alam itu sendiri.

Api bisa membakar benda-benda. Karena khasiat dari api adalah membakar benda. Akan tetapi khasiat membakarnya api hanya bisa ditujukan pada benda-benda yang berpotensi terbakar. Benda-benda yang tidak berpotensi terbakar tidak bisa dibakar oleh api walaupun api mempunyai khasiat membakar. Kesimpulannya, api membutuhkan benda lain dengan syarat tertentu, yaitu berpotensi terbakar. Api membutuhkan benda lain.

Pisau yang tajam mempunyai khasiat membelah benda-benda. Akan tetapi pisau sekalipun tajam tidak bisa membelah besi. Yang dari sini lahirlah gergaji. Pisau hanya bisa membelah benda-benda yang berpotensi terbelah. Sehingga, pisau membutuhkan benda-benda lain agar khasiatnya dapat berfungsi sekalipun khasiat membelah itu ada pada diri pisau. Oleh karenanya, pisau membutuhkan benda lain, dengan kriteria tertentu. Begitu pula dengan air. Air dapat berubah menjadi uap. Untuk bisa berubah menjadi uap, air membutuhkan sesuatu yang bukan air dengan kadar tertentu. Air membutuhkan kalor dengan kadar tertentu sehingga akan menjadi uap pada kondisi tertentu, yaitu suhu
100ºC. Seperti api dan pisau, air membutuhkan yang lain.

Gerak planet ada pada garis edarnya. Pertanyaannya, garis edar planet tersebut merupakan apa yang ada pada plenet itu sendiri, khasiat yang dimilikinya atau sesuatu yang lain? Selain dari ketiga tersebut tidak ada lagi kemungkinan. Kemungkinan pertama, planet bergerak sesuai dengan garis edarnya. Sedangkan garis edar tidak bergerak sebagaimana planet bergerak. Sehingga kemungkinan pertama tertolak. Sebab, gerak planet pada garis edarnya tidak diikuti dengan gerak garis edar bersama dengan planet. Kemungkinan kedua ialah garis edar ialah khasiat yang dimiliki planet. Kemungkinan ini juga tertolak karena planet lain juga bergerak pada garis edarnya. Dalam artian, planet lain juga bergerak  pada garis edarnya. Sehingga garis edar planet merupakan sesuatu yang lain dari planet tersebut. Jadi sebuah planet memerlukan sesuatu yang lain selain dirinya.

Api, pisau, air dan planet adalah alam itu sendiri. Mereka membutuhkan sesuatu selain dirinya. Sesuatu yang membutuhkan sesuatu yang lain disebut dengan makhluk. Karena makhluk tidak bisa menjadikan yang tidak ada menjadi ada. Makhluk membutuhkan Sang Pencipta (khaliq). Karena
makhluk tidak dapat melahirkan dirinya dengan sendirinya. Ia, tidak mempunyai kemampuan untuk menjadikan dirinya yang tidak ada menjadi ada. Sebaliknya, Sang Pencipta tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Sifat tidak membutuhkan sesuatu yang lain adalah keharusan bagiNya. Sebab, ia adalah Sang Pencipta bukan makhluk. Sang Pencipta tidak bersandar pada sesuatu yang lain, sebagaimana makhluk yang harus bersandar pada sesuatu yang lain.

Jatuhnya apel dari pohonnya dengan mengikuti arah gaya gravitasi bumi adalah bentuk Sunatullah. Apel, bumi, dan gaya gravitasi adalah sesuatu yang membutuhkan sesuatu yang lain. Mereka bersandar pada suatu kekuasaan sehingga mereka bisa saling terkait. Demikian juga dengan mendidihnya air pada suhu
100ºC. Air, kalor, dan suhu 100ºC adalah sesuatu yang membutuhkan sesuatu yang lain. Mereka juga bersandar pada suatu kekuasaaan sehingga mereka bisa saling terkait. Kekuasaan tersebut adalah kekuasaanNya. Sunatulllah berarti, hadirnya kekuasaanNya pada benda-benda tadi sehingga mereka dapat berubah dari satu kondisi ke kondisi tertentu dengan syarat yang juga tertentu. Dari kunjungan ke prof. Dedi tersebut, aku diingatkan untuk selalu ingat pada Allah. Bahwa kekuasanNya yang terbentang luas hingga menembus batas pengalaman manusia, ialah bentuk kasih dan sayangNya yang dianugerahkan pada kita agar selalu ingat kepadaNya.

 

 Sumber : buku Kritis atas Sosialisme Marxisme, Ghanim Abduh

Tommy Aji Nugroho
Bandung, 20 November 2012 pukul 18:25 WIB

7 comments:

  1. komen disit om,trus langsung tak follow

    ReplyDelete
  2. sip wal, awakmu kenal presiden Ateis Indonesia ra? Karl sopo yo

    ReplyDelete
    Replies
    1. karl karnadi po? Yen sing dimksd awakmu emang wong kui, koyone fb-ku berteman dgn dia...emang knp,Tom?

      Delete
  3. iyo wal,. awakmu tau diskusi karo de'e rak? sangar men jabatane, presiden + Ateis

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. ora pernah tom, iyo sangar.....tp koyone ora tinggal nang indo yo??? (*ngglendengi wong....wkwkwk*)

    ReplyDelete
  6. gak ngerti wal, aku sih pengen ngerti gagasanne wal, yo iku ngeri soale jabatane, presiden Ateis. mbokan awakmu tau diskusi opo karo de'e

    ReplyDelete