Saturday 24 November 2012

Titen, Manifestasi Kehidupan Masyarakat Jawa yang Saintifik

Pernahkah kamu perhatikan bagaimana seorang supir saat mengendalikan kemudinya? Ataukah kamu pernah mengalaminya sendiri? Peristiwa tersebut menarik untuk diperhatikan. Setidaknya, bagi kita yang sedang berlatih menyetir mobil. Memang benar kata orang, untuk bisa menyetir mobil tidak usah banyak menerima teori. Orang bisa menyetir mobil karena langsung praktek, berlatih menyetir. Meskipun di Amerika Serikat, pernah ada liputan berita seorang anak kecil (umurnya sepuluhan tahun) berhasil mengemudikan mobil orang tuanya. Ia keluarkan mobil dari halaman rumahnya dan menjauh sekitar 500 meter atau lebih dengan selamat. Ia tidak pernah berlatih sebelumnya, hanya mendapatkan informasi bagaimana cara menyetir mobil dari video game yang ia mainkan. Begitulah dunia, yang bagi kita terasa tidak mungkin menjadi mungkin dengan kejadian nyata.

Meskipun, untuk bisa menyetir mobil tidak diperlukan banyak teori, ada sesuatu yang menarik dari aktivitas seseorang mengendalikan kemudi mobilnya. Bagaimana seseorang memutuskan untuk memutar kemudinya pada saat di tikungan? Akan lebih menarik jika mobil yang digunakan mempunyai monyong di bagian depan mobilnya. Sebab, dengan itu jarak antara apa yang terlihat di depan mata seorang pengemudi dengan posisi ban depan mobil akan terlihat lebih jauh daripada jarak tersebut pada mobil yang tidak bermonyong. sehingga, sejatinya pengemudi tidak akan mengetahui secara pasti posisi ban depan sudah berada tepat untuk dibelokkan. Itulah kehebatan seorang pengemudi mobil bermonyong. Perkiraan yang tepat mengantarkan kesuksesannya melewati setiap tikungan jalanan.

Bagaimana cara pengemudi tersebut menjadi hebat? Caranya tidak lain adalah dengan latihan, latihan, dan latihan. Namun, bagaimanakah ia memastikan bahwa yang dilakukan itu benar? Inilah yang akan menjadi pembahasan dalam artikel sederhana ini. Awalnya, saat pertama kali mengemudi ia akan banyak mengambil pelajaran-pelajaran. Pelajaran apa? pelajaran dari aktivitas percobaan mengemudikan stir mobilnya. Pelajaran tersebut dapat berupa seberapa cepat mestinya laju berputarnya stir terhadap laju kendaraaan. Pelajaran lainnya, seberapa cepat laju kendaraan dibandingkan dengan besar sudut tikungan. Atau, dengan menggabungkan ketiganya, sebarapa cepat laju berputarnya stir dibandingkan dengan seberapa besar sudut tikungan dan besarnya laju kendaraan. Itu semua belum lengkap. Kenyataannya, seorang pengemudi juga memperhatikan posisi ban dan ujung depan kendaraan terhadap space yang tersedia di tikungan. Ini akan diperumit lagi dengan bertambahnya variabel lain, saat di tikungan berpapasan dengan kendaraan beroda empat lainnya. Ia tidak hanya memperhatikan posisi ban dan bagian depan kendaraan akan tetapi juga bagaimana posisi ban dan bagian depan kendaraan mempunyai jarak tertentu sehingga tidak akan bersingungan dengan kendaraan yang ditemuinya tadi.

Hal itu terlihat rumit jika diabstraksikan. Seseorang yang sedang berlatih mengemudi tidak perlu mempelajari Fisika agar pelajaran-pelajaran tadi dapat dimodelkan dalam bentuk simbol dan kata. Cukup berlatih, berlatih dan berlatih. Ia akan menangkap dan membandingkan pelajaran-pelajaran tadi untuk dihasilkan kesimpulan subjektif. Kesimpulan subjektif tersebut digunakan dirinya untuk berlatih di waktu berikutnya. Latihan berikutnya akan menghasilkan kesimpulan subjektif lagi. Demikian seterusnya, setiap latihan akan mendapatkan pelajaran dan kesimpulan baru yang digunakan untuk latihan berikutnya. Semakin banyak berlatih semakin dekat kesimpulan subjektif yang dibuatnya tadi dengan kebenaran. Kebenaran akan mendatangkan kesuksesan baginya melawati tikungan dengan laju berputarnya stir, laju kendaraan, besar tikungan, dan space yang tersedia dengan kadar masing-masing. Kata pak Dheku, yang lumayan jago menyetir kendaraan beroda empat, yang seperti itu bagi orang Jawa disebut titen. Titen ini bukanlah ilmu, ia lebih pantas jika disebut dengan metode. Jika dibandingkan metode dunia Ilmu Pengetahuan, titen ini pas jika disandingkan dengan metode ilmiah. Sebab, proses-proses yang berlangsung di metode ilmiah juga ditemukan di titen. Hipotesis, percobaan, dan kesimpulan akhir yang pada metode ilmiah juga terdapat di titen  tersebut.


Selain kesamaan proses, titen juga mempunyai kesamaan fungsi dengan metode ilmiah. Fungsi metode ilmiah yang berupa untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa depan juga diadopsi oleh titen. Dari sinilah, titen digunakan oleh masyarakat Jawa untuk hal-hal lain selain memperkirakan posisi ban dan bagian depan mobil tadi. Jika kamu teliti menyelami kehidupan masyarakat Jawa, akan ditemukan pada mereka aktivitas-aktivitas tertentu yang dilandasi metode ini. Resepsi khitan anak, resepsi nikah, atau membuka toko baru oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap sebagai hari yang penting. Hari penting ialah hari yang tidak biasa dan efeknya berpengaruh dalam kehidupannya. Untuk menyukseskan hari penting tersebut, sebagian masyarakat Jawa mendatangi orang ahli, yang dianggap bisa menentukan kapan jatuh tanggal yang tepat untuk hari penting tersebut. Orang ahli itulah yang menggunakan titen.

Aku masih ingat, cerita tetangga kampungku dulu. Ia mengatakan telah menolak permintaan seorang perempuan yang hendak menyukai anak laki-lakinya. Seorang perempuan tadi ngebeut banget terhadap anak laki-lakinya, sampai-sampai ia datang sendiri menemuinya untuk menyampaikan maksud harapan bisa berlanjut ke jenjang berikutnya. Setelah berkenalan dan mengetahui weton perempuan, ia menolak niat baik perempuan tadi. Tahukah kamu apa argumentasi yang disampaikan ibu laki-laki tadi? Ia menganggap, weton  anaknya dan perempuan tadi jika dipertemukan, akan terjadi marabahaya dalam kehidupan rumah tangganya kelak. Untuk itu, ia menolak permintaan perempuan tadi. Apa yang mendasari argumentasi sang ibu tadi tidak lain ialah pengetahuan-pengetahuan yang masyarakat Jawa ciptakan dari metode titen. Oleh orang ahli, weton yang ada 35 hari banyaknya tadi diteliti. Setiap bayi yang terlahir mempunyai satu weton. Seperti aku misalnya, wetonku ialah Kamis Wage (kalau tidak salah ingat). Weton laki-laki dan perempuan yang sudah berumah tangga dicatat sebagai pasangan weton kemudian di bandingkan bagaimana kehidupan rumah tangganya. Dengan menggunakan matematika sederhana, akan didapati 35x35 = 1225 pasangan weton yang mungkin ada (Banyak banget kan? Jadi bagaimana sang ibu tadi mengambil 1 kemungkinan dari 1225 yang ada). Dari setiap pasangan tersebut akan mempunyai keadaan masing-masing, semisal kehidupan harmonis atau kehidupan penuh marabahaya dalam kehidupan berumah tangga. Kesimpulan ini dihasilkan dari pengamatan terhadap pasangan weton dan dinamika kehidupan rumah tanganya. Kesimpulan ini digunakan untuk menentukan boleh tidaknya, pasangan weton melangsungkan pernikahan menuju kehidupan berumah tangga.

Inilah sekelumit penggunaan titen bagi orang Jawa. Namun, tidak semua masyarakat Jawa menggunakan titen dalam setiap aktivitas perencanaan hidupnya. Bagiku sendiri, titen yang digunakan untuk meneliti pasangan weton dan dinamikanya dalam kehidupan berumah tangga akan tidak tepat. Okelah, titen digunakan untuk berlatih mengemudikan kendaraan beroda empat. Tapi, untuk masalah baik dan buruk apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, tidak akan dipengaruhi oleh weton. Sebab, weton tidak mempunyai kekuatan apapun yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang ataupun pasangan. Sehingga, sang ahli tadi, melakukan suatu kekeliruan dengan menganggap bahwa dinamika yang terjadi pada kehidupan rumah tangga seseorang dipengaruhi rupa pasangan weton. Sebab, pasangan weton tidak mempunyai kekuatan apapun yang dapat mempengaruhi dinamika kehidupan berumah tangga seseorang.


Sudah saatnya, penggunaan titen untuk semua hal ditinjau ulang. Sebagai, seorang yang terdidik, kita hendaknya mampu memilih dan memilah mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, juga mana yang tepat dan yang keliru. Titen memang ampuh digunakan untuk beberapa perencanaan semisal mengemudikan mobil tadi. Namun, tidak semestinya titen digunakan untuk hal-hal yang di antara hal tersebut tidak saling berhubungan. Semoga, sebagai masyarakat Jawa kita dapat menyadari akan hal itu.  




[1] monyong yang dimaksud ialah tonjolan yang terletak di bagian depan mobil sebagai wadah penampung mesin mobil
[2] weton berasal dari kata wetu dan imbuhan –an, wetuan. Wetu berasal dari kata metu yang berarti keluar atau lahir. Weton bermakna, waktu lahir seseorang. Selain hari yang berupa Senin-Ahad, masyarakat Jawa juga mengenal pasaran yang ada lima, Manis, Pon, Wage, Kliwon (dan satu lagi lupa J ). Antara hari dan pasaran berpasangan satu-satu. Sehingga akan didapati 35 pasangan untuk satu periode. Misalnya, Jumat Kliwon.


Tommy Aji Nugroho
Bandung, 25 November 2012

No comments:

Post a Comment