Tuesday 6 November 2012

Kita Bukanlah "Buruh"

Pecahnya Gelas Kaca

Sebuah gelas kaca diletakkan di atas meja. Meja terletak di atas lantai. Panjang kaki meja tidak lebih dari 75 cm. Secara perlahan, gelas tadi disentuh dan digeser ke tepi hingga akhirnya alas gelas kaca tidak bersentuhan lagi dengan meja. Gelas terjatuh menyentuh lantai dan pecah “pyarrr..”. Sekarang, gelas tak berbentuk seperti semula. Gelas berubah menjadi pecahan gelas.

Ada satu pertanyaan yang layak diajukan dalam peristiwa ini. “Dapatkah peristiwa tersebut berbalik sehingga pecahan gelas tadi berubah menjadi gelas kaca seperti semula?”. Maksud pertanyaan ini adalah pecahan gelas kaca tersebut bersatu sesuai posisi awalnya sesaat sebelum menyentuh lantai. Kemudian naik ke atas menyentuh meja dan bergeser ke posisi semula sebelum tersentuh sama sekali.

Kita semua tahu jawabannya, bahwa peristiwa tersebut tidak dapat berbalik. Ya, pecahan gelas tadi tidak bisa berbalik menjadi gelas kaca seutuhnya setelah berubah bentuk menjadi pecahan gelas. Pertanyaannya, mengapa bisa seperti itu?

Dalam tinjauan Fisika, peristiwa tersebut adalah peristiwa alam. Alam bekerja sesuai aturan tertentu. Aturan ini (peristiwa gelas kaca pecah) berhasil dibukukan dalam Fisika yang kemudian kita kenal dengan hukum kedua Termodinamika. Hukum Kedua Termodinamika ini menjelaskan bahwa semua sistem (Fisika.red) yang dibiarkan tanpa gangguan akan rusak, terurai, dan tak beraturan sejalan dengan waktu.

Jadi, dalam peristiwa pecahnya gelas tadi, pembiaran terjadi pada saat gelas terjatuh bebas hingga membentur lantai. Hal ini tidak bisa dikatakan, bukankah justru karena adanya gangguan (bergesernya gelas) yang menyebabkan gelas pecah?. Sebab, gangguan hanya terjadi saat tersentuh dan bergesernya gelas hingga gelas tidak bersentuhan lagi dengan meja. Seandainya ganguan ada saat gelas jatuh bebas, gelas tidak jadi pecah. Karena pada akhirnya gelas pecah, berarti terjadi pembiaran saat gelas terjatuh bebas.

Kerusakan pada sistem, terjadi sejalan dengan waktu. Inilah alasan mengapa tidak bisa terjadi peristiwa sebaliknya, pecahan gelas di lantai menjadi gelas kaca seutuhnya di atas meja. Sebab, peristiwa sebaliknya tersebut tidak sejalan dengan waktu.

Peristiwa di atas adalah salah satu contoh peristiwa alam yang dijelaskan oleh hukum kedua Termodinamika. Ada banyak peristiwa lain yang dapat dijelaskannya, sebab ini merupakan hukum utama dari semua ilmu pengetahuan. Itu merupakan pengakuan Albert Einstein. Bahkan, astronom Sir Arthur Stanley Eddington juga menyatakan bahwa hukum kedua Termodinamika ini adalah hukum metafisika tertinggi di jagat raya ini.1

Melalui hukum fisika ini, kita tahu bahwa sistem atau materi-materi di alam semesta akan berubah menjadi materi yang rusak, tidak teratur, dan terurai jika dibiarkan sepanjang waktu. Contoh lainnya adalah mobil yang kita parkir di padang pasir. Setahun kemudian kita akan lihat kaca mobil pecah, bannya kempes, bampernya berkarat, dan sebagainya. Peristiwa tersebut tidak mungkin berbalik berlawanan arah panah waktu.
Hukum ini juga berlaku untuk makhluk hidup. Termasuk diri kita ini.

Karl Marx
“Manusia yang membuat sejarahnya itu tidak menyadari bahwa dirinya adalah subjek sejarah” (Hardiman, 2009)2.

Di dalam bukunya, Hardiman mengungkapkan pendapat Habermas mengenai pemikiran dialektis materialismenya Karl Marx. Bagi Karl Marx, buruh, alat-alat produksi, dan pemilik modal menarik untuk diamati. Buruh bekerja dengan alat-alat produksi untuk mengubah bahan baku menjadi komoditas yang mempunyai harga. Kerja buruh ditukar dengan upah. Upah digunakan buruh untuk mempertahankan kehidupannya. Adapun harga komoditas yang telah dihasilkan buruh ditetapkan oleh pemilik modal (bukan buruh tentunya). Penetapan harga inilah menjadikan pemilik modal meraih keuntungan melalui penjualan komoditas yang dihasilkan buruh. Oleh sebab itu, Karl Marx menganggap kerja buruh sebagai sumber “nilai lebih” yang dinikmati pemilik modal.

Kita Bukan Buruh
Karl Marx membangun ideologinya melalui pendekatan dua kelas kehidupan manusia yang mendasar. Mereka adalah kelas pemilik modal dan pekerja (buruh). Pemikiran-pemikiran yang muncul dari ideologinya berkaitan dengan kedua kelas tersebut. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran tersebut digunakan untuk mengatur kehidupan manusia.

Nyatanya, kehidupan manusia di dunia ini tidak hanya terbagi menjadi dua kelas tadi. Ada kelas-kelas lain yang tidak masuk ke dalam dua kelas tersebut. Anak kecil yang tidak bekerja, pedagang, pejabat pemerintah, penganggur, guru, dosen, pelajar, bahkan mahasiswa adalah contohnya. Diperlukan pendekatan lain yang lebih universal. Sehingga dengan pendekatan itu, tidak ada satupun peran manusia yang tidak terlingkupinya. Selain itu, pendekatan tersebut juga semestinya bersifat mendasar yang tidak ditemui dasar yang lainnya. Pendekatan tersebut berupa “aku”.

Dalam penulisan kata “aku” digunakan tanda kutip untuk menegaskan bahwa “aku” yang dimaksud bukan hanya diri penulis melainkan juga seluruh manusia yang ada. Selanjutnya kita akan bedah kata “aku”, apa itu “aku”?. Untuk membedahnya, kita gunakan dua pendekatan alamiah yang sangat terkait dengan keberadaan “aku”. Keberadaan dua hal ilmiah tersebut mendeskripsikan keberadaan “aku” di dunia. Artinya, tanpa penyertaan kedua hal alamiah tersebut pada diri “aku”, berarti “aku” tidak ada. Kedua hal alamiah tersebut adalah ruang (tempat) dan waktu.

Sekarang kita gunakan pendekatan ruang dan waktu untuk menelusuri keberadaan “aku” di dunia. Penelusuran tersebut mengharuskan penggunaan alat indera untuk menangkap fakta yang ada pada “aku”. Fakta yang terdekat dengan alat indera “aku” adalah hidupnya “aku” sekarang ini di dunia. Sekarang “aku” ada di dunia, lantas seperti apa “aku” sebelum ada di dunia ini. Kita dapat menjawab pertanyaan tadi dengan menyatakan bahwa “aku” sekarang ada di ITB, dan sebelumnya “aku” ada di Sekolah Menengah Atas masing-masing. Konsekuensinya, jawaban tersebut menimbulkan pertanyaan lanjutan, lantas sebelum ada di SMA “aku” darimana?. Pertanyaan demi pertanyaan akan muncul seiring dengan masih bisanya awal dianggap akhir akhir yang semula awal untuk menemukan apa yang lebih mengawalinya. Pertanyaan ini sesuai dengan kaidah ketidakazalian manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Ghanim Abduh, adanya akhir mengharuskan adanya permulaan3

Pertanyaan selanjutnya adalah hendak kemana “aku” setelah ada di dunia?. Kedua pertanyaan tersebut semestinya kita jawab sebelum kita kemukakan untuk apa “aku” ada di dunia ini?.

Sesuai dengan urutan tersebut, pertanyaan-pertanyaan kita jawab dan akan kita dapatkan jawabannya. Jawaban atas pertanyaan terakhir kita gunakan sebagai landasan dasar mendeskripsikan keberadaan kita di dunia. Hal ini berlaku universal kapan pun dan di mana pun kita berada. Kita sekarang di dalam gedung kuliah, di gubuk-gubuk persawahan, atau pun istana negara. Kita harus menjawabnya, karena itu adalah hal yang mendasar dalam kehidupan kita.

Keberadaan kita di dunia tidak bisa lepas dari alam semesta. Misalnya, kita sedang membaca koran. Koran bagian dari alam semesta. Kita perlu memegangnya secara tepat untuk memastikan koran tidak jatuh ke lantai saat kita baca. Karena kita tahu bahwa koran juga materi yang tidak bisa lepas dari pengaruh gravitasi bumi. Selain itu, koran yang kita baca terkait dengan keberlangsungan waktu saat koran diterbitkan. Kita tahu bahwa semua koran pasti disertai dengan tanggal terbit di bagian kiri atau kanan atas koran tersebut. Dari satu contoh aktivitas kita ini, nyatalah bahwa keberadaan kita di dunia ini tidak bisa lepas dari alam semesta.

Habermas membagi praksis manusia menjadi dua yaitu tindakan instrumental dan tindakan komunikatif. Tindakan instrumental adalah tindakan dasar manusia terhadap kenyataan non-sosial (alam). Sedangkan tindakan komunikatif berkaitan dengan tindakan strategis yang dilakukan terhadap kenyataan sosial4. Artinya, ketika kita membaca koran termasuk bagian dari kegiatan instrumental. Sebab, koran yang menjadi bagian dari alam tadi sedang kita taklukkan dari pengaruh gravitasi bumi tadi. Sedangkan tindakan komunikatifnya bisa berupa kita menceritakan kembali isi koran yang telah kita baca kepada teman-teman kita.

Rentetan tindakan yang kita lakukan baik tindakan instrumental maupun komunikatif dalam kerangka waktu tertentu membentuk sejarah. Untuk itulah Habermas melalui Hardiman menyatakan pemikiran Karl Marx bahwa manusia yang membuat sejarahnya tidak menyadari bahwa dirinyalah subjek sejarah. Manusia yang dimaksud Marx adalah kaum buruh, pekerja. Sedangkan sejarah yang dimaksud adalah sejarah perguliran sejarah Kapitalisme dunia.

Baik kemarin maupun sekarang, kita selalu menjadi bagian dari subjek sejarah. Sejarah mengungkapkan peradaban manusia yang dicetaknya melalui tindakan-tindakan. Terhadap peradaban yang ada sekarang, kita mempunyai dua pilihan sikap. Kita akan tinggal diam untuk memperlama umur peradaban atau bergerak melawan mempersingkat umur peradaban sekarang. Itu pilihan kita. Kita dapat memilihnya setelah menemukan jawaban atas pertanyaan mendasar mengenai keberadaan kita di dunia saat ini. Agar, yang kita pilih benar-benar kita sadari hakikatnya. Sehingga, kita tidak akan diasamakan dengan kaum buruh yang tidak menyadari keberadaannya di dunia turut melanggengkan sejarah Kapitalisme dunia menurut Karl Marx. Kesadaran kita akan sempurna dengan penyertaan ketidakazalian alam semesta. Bahwa menurut Hukum Kedua Termodinamika, waktu tidak mungkin berbalik arah menuju masa lalu. Setiap saat kita mengalami kurangnya kesempatan untuk tetap berada di dunia mencetak peradaban. Rusaknya, mobil yang dibiarkan di padang pasir, hilangnya energi dari batu batere yang kita gunakan menghidupkan komputer, hilangnya kemampuan mendengar telinga, melemahnya ketajaman penglihatan mata, tersendatnya suara yang keluar dari mulut, bahkan melemahnya kelincahan tangan untuk menari di atas keyboard komputer kita adalah suatu keniscayaan adanya. Entah kita akan mengalami atau tidak itu sesuatu yang lain. Jelasnya, itu bisa saja terjadi pada diri kita.

Referensi

[1] id.harunyahya.com/id book/3015/DARWINISME_TERBANTAHKAN/chapter/10479
[2] Hardiman, Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta ,Kanisius, 2009
[3] Abduh, Ghanim, Kritik Atas Sosialisme Marxisme, Bangil, Al-Izzah,2003
[4] Hardiman, Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta ,Kanisius, 2009

No comments:

Post a Comment