Thursday 22 November 2012

Merasionalisasi Perasaan

Setelah definisi berpikir dan masyarakat, hal penting lain bagiku ialah perasaan. Orang Jawa bilang "jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa". Biasanya, orang Jawa menyimpan filosofi tertentu dalam setiap paribasan yang diucapkannya. Tertentu karena ia menyimpan ajakan untuk melakukan perbuatan tertentu. Seperti paribasan tadi. Itu mengandung ajakan agar seseorang memiliki kepekaan merasa. Bukan kepekaan merasa bisa melainkan bisa merasa. Tentu filosofi tersebut tidak hanya sampai di situ. Antara seseorang dan dunia luar akan terhubung. Bagi orang Jawa, penghubung tersebut ialah kemampuannya untuk merasakan apa yang dirasakan oleh dunia luar. Dunia luar di sini maksudnya ialah apa-apa yang ada di luar dirinya.

Ajaran tersebut sebenarnya mirip dengan konsep empati dalam ilmu Sosiologi. Setidaknya aku akan mengajak kawan sekalian untuk mengingat kembali pelajaran kelas 1 SMA. Empati lebih tinggi tingkatannya daripada simpati. Simpati merupakan keikutsertaan raga dan pikiran kita pada dunia luar sehingga kita dapat memiliki perasaan dan pemikiran yang sama dengannya. Dunia luar di sini akan dispesifikasi menjadi masyarakat atau seseorang. Sedangkan empati tidak. Tidak dalam artian, kita tidak perlu mengikutsertakan raga kita pada masyarakat atau seseorang. Tetapi, dengan itu kita bisa merasakan apa yang dirasakan seseorang, atau apa yang pikirkannya. Sehingga, dengan empatilah, seakan-akan pikiran dan hati kita langsung terhubung dengan seseorang. Tidak ada lagi beda potensial di antara keduanya. Oleh karenanya Sosiolog menempatkan empati lebih tinggi satu tingkat dibanding dengan simpati. Demikianlah aku menafsirkan paribasan tadi. Bahwa maksud dari bisa merasa ialah berempati.

Aku juga masih ingat kelanjutan pelajaran Sosiologi tadi, bahwa orang yang memiliki empati terbaik ialah ibu. Seorang ibu mempunyai empati yang tinggi terhadap anaknya. Lihat saja, ketika seorang anak mengalami sesuatu, misalnya berupa kesedihan seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau kegembiraan berupa prestasi yang diraih seorang anak. Ibulah yang paling larut dalam kesedihan atau kegembiraan yang mendalam. Seakan, hati dan pikiran anak adalah bagian darinya seutuhnya.

Mengapa orang Jawa mengajarkan untuk berempati? Ini karena perasaan bagi mereka adalah penting. Menjaga, memelihara, dan menumbuhkembangkan persaan baik terhadap sesama manusia adalah hal yang penting. Kenapa? karena dengan perasaanlah hubungan diantara sesama akan terjaga. Itulah mengapa, setelah definisi berpikir dan masyarakat, pembahasan mengenai perasaan menjadi penting, bagiku.

Perasaan yang sama diantara sesama manusia menjadi penting karena dengan itulah hubungan di antara sesama akan terjaga. Namun hal ini tidak bisa ditarik kepada pemikiran. Pemikiran yang berbeda tidak semestinya memecah hubungan di antara sesama manusia. Sebab, pemikiran ialah strata paling rendah dalam pembentukan karakter seorang manusia. Mengapa? karena pemikiran manusia letaknya paling dekat dengan fakta. Pemikiran ialah status atas fakta. Harap dimaklumi bahwa dengan tingkatan strata tersebut, pemikiran manusia gampang berubah. Kita pun gampang untuk berbeda pemikiran.  Oleh karenanya pemikiran tidak lebih melekat erat dalam karakter manusia dibandingkan dengan perasaan.

Tingkatan yang lebih tinggi dari pemikiran ialah persepsi. Persepsi seseorang terbentuk melalui akumulasi pemikiran. Baik akumulasi yang berupa pemikiran satu dan pemikiran dua  yang saling mendukung ataupun pemikiran satu yang berulang kali teruji kebenarannya. Dengan tingkatannya yang lebih tinggi, persepsi membawa konsekuensi berupa lebih susah diubah daripada pemikiran. Dalam ranah tindakan, persepsi akan mengimbangi praksis berupa kebiasaan ataupun refleks. Maksud dari mengimbangi ialah persepsi akan mendrive kebiasan-kebiasaan seseorang. Praksis di sini maksudnya ialah tindakan dasar seorang manusia. 

Sejalan dengan persepsi, kebiasaan seseorang akan lebih susah diubah daripada tindakan baru. Tindakan baru ialah tindakan yang didrive oleh pemikirannya. Karena memang, pemikiran seseorang akan mengimbangi tindakan baru. Contohnya ialah orang yang melakukan aksi tertentu setelah menerima provokasi dari seorang provokator. Aksi tersebut ialah tindakan baru baginya. Sedangkan provokasi ialah pemikiran yang baru baginya.Untuk itu, aksi-aksi di lapangan semisal demonstrasi akan mudah diarahkan setelah seseorang menerima provokasi.

Tingkatan berikutnya setelah persepsi ialah perasaan. Perasaan terbentuk melalui akumulasi persepsi. Sehingga, perasaan letaknya semakin jauh dengan fakta. Orang yang hanya berbekal satu pemikiran akan susah mengubah perasaan seseorang. Sebab, perasaan lebih melekat pada karakter seorang manusia dibandingkan dengan persepsi atau hanya pemikiran. Di sinilah letak kehebatan seorang ibu. Dengan empatinya yang tajam, seorang ibu akan mengubah perasaannya seiring berubahnya fakta secara cepat dan cenderung tepat. Fakta tersebut misalnya sebagaimana yang disebutkan tadi, anaknya yang mengalami kecelakaan bermotor atau pun meraih prestasi gemilang di sekolahnya. Hadirnya fakta tersebut berarti berubahnya fakta atas anaknya. Seorang ibu akan larut dalam pikiran dan perasaan anaknya sesaat setelah perubahan fakta tersebut terjadi. Jadi, empati merupakan manifestasi kecerdasan berpikir seseorang. Sehingga, ada baiknya juga tetuah Jawa mengajarkan paribasan tadi. Bahwa sejatinya kita dituntut untuk cerdas dan berpikir cepat dan tepat sehingga, tidak ada lagi beda potensial di dalam hati dan pikiran di antara sesama manusia.

Namun, yang perlu dicatat, perasaan dengan tingkatan tertingginya tidak dapat dijadikan pembenaran. Artinya, untuk menguji kebenaran sesuatu tidak boleh dengan perasaan. Untuk masalah ini, serahkan saja pada akal. Akallah yang akan menghasilkan pemikiran dan dengan itu pula kebenaran pemikiran dapat diuji. Ini bukan berarti gagah-gagahan akal atau pemikiran atas perasaan. Tetapi, memang di dalam akallah, terkadung khasiat mengaitkan fakta dengan informasi sebelumnya yang ada pada benak manusia. Perasaan, sudah berperan baik untuk menjaga hubungan sesama manusia meskipun di antaranya memiliki perbedaan pemikiran. Jadi, rasionalisasi perasaan menempatkan perasaan pada strata terdekat dengan karakter seorang manusia namun itu tidak bisa diberdayakan untuk menggantikan akal. Dan akal yang termanifestasi dalam pemikiran akan menempati strata terendah yang berarti paling dekat dengan fakta namun mempunyai daya untuk mengendalikan perasaan.


Tommy Aji Nugroho
23 November 2012

No comments:

Post a Comment